tag:blogger.com,1999:blog-5572246894060830902024-02-07T05:34:41.224-08:00Majalah Matan - Enak Dibaca dan Mencerahkanredaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.comBlogger17125tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-89528555946018331222008-11-28T23:24:00.001-08:002009-03-22T05:33:08.175-07:00PERANG 10 NOVEMBER ’45, PERANG SANTRI<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><b><span style=";font-family:";" lang="IN">Peran Laskar Hizbullah dan Sabilillah dalam perang rakyat 10 November 1945 di Surabaya menjadi tonggak pemertahanan kemerdekaan Republik ini.<o:p></o:p></span></b><br /></span><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><i><span style=";font-family:";" lang="IN">“Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…! Merdeka !”<o:p></o:p></span></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Penggalan pidato berapi-api Bung Tomo itu tak lepas dari pekik takbir dan kata merdeka, yang merupakan ciri khas pidatonya dalam membakar semangat kepahlawanan para pejuang Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945. Kalimat itu selalu digunakan dalam mengawali dan mengakhiri pidato. Bukan merdeka atau mati. Padahal dalam rentang waktu proklamasi 17 Agustus 1945 hingga Oktober 1945, pekik ‘merdeka atau mati’ sudah tersosialisasi secara luas di seluruh penjuru tanah air.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">"Bung Tomo tampaknya cukup tahu kalau para pejuang yang terjun langsung dalam peristiwa itu adalah umat Islam," kata Rosdiansyah, alumnus Institute of Social Studies Den Haag, Belanda, kepada MATAN. Dengan demikian, kalimat takbir yang dipekikkan Bung Tomo tidak dilakukan dengan asal-asalan, tetapi melalui perhitungan psikologis yang cukup matang. Sebab, Lanjut Rosdiansyah, penggunaan takbir saat berperang mempertahankan tanah air adalah panggilan perang suci, jihad fi sabilillah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Dugaan ini semakin menemukan konteksnya seiring dengan terbitnya <i>In memoriam: Sutomo</i>, hasil disertasi William H. Frederick, di Cornell University. Buku yang diterjemahkan oleh Hermawan Sulistyo dengan judul <i>Bung Tomo: Pandangan dan Gejolak </i>(1979) itu disebut bahwa teriakan Allahu Akbar sebelum dan sesudah (pidato, red), diperhitungkan untuk menarik perhatian orang Islam Surabaya yang taat, tetapi belum terjaring dalam perlawanan melawan penjajah. Kesimpulan ini diambil setelah Frederick mewawancarai langsung Bung Tomo sebelum wafat pada tahun 1981, yaitu 1972-1973.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Propaganda Islami inilah yang menggerakkan rakyat ikut aktif dalam perjuangan melawan musuh, yaitu tentara Inggris yang menyelundupkan tentara Belanda, Netherlands Indies Civil Adminsitration (NICA). Meski bersenjata seadanya, mereka dengan gagah berani berhadapan langsung melawan Inggris di daerah Pambun dan Bubutan. "Inilah yang membedakan pertempuran di Surabaya dengan daerah lain. Surabaya tidak menerapkan perang gerilya, tetapi <i>face to face</i>," terang Rosdiansyah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tetapi tidak semua negara di dunia mengakuinya, termasuk Belanda dan sekutunya. Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, Indonesia mulai diserang kembali oleh Belanda dan sekutunya. Sehingga para kiai dan santrinya bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah untuk menghadang kolonial masuk kembali ke Indonesia. Berbagai pesantren yang merupakan tempat pendidikan berubah fungsi sebagai markas pasukan kedua satuan itu, dan setiap saat siap menunggu komando untuk berangkat ke medan perang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Di Surabaya, beberapa tokoh Islam berkumpul, mengatur strategi menghadapi serangan Sekutu yang telah mengultimatum Indonesia untuk ‘menyerah’ pada 9 November 1945. Diantara mereka ada KH. Mas Mansur, KH. Abdul Wahab Hasbullah, Bung Tomo, Roeslan Abdul Ghani, dan Dul Arnowo. (<b>Baca:<o:p></o:p></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, sampai salah seorang komandan pasukan India, Zia-ul-Haq, terheran-heran menyaksikan para Kyai dan santri bertakbir sambil mengacungkan senjata. Sebagai muslim, hati Zia-ul-Haq terenyuh, dan dia pun menarik diri dari medan perang. Sikap tentara yang kemudian menjadi Presiden Pakistan ini tentu saja semakin menyulitkan pasukan Inggris menguasai Indonesia dari sisi Surabaya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Peran penting umat Islam dalam peristiwa 10 November itu juga diamini oleh KH Sholahuddin Wahid, cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy'ari. Menurut pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng Jombang ini, kakeknya bersama beberapa Kyai berunding dan menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 harus dipertahankan oleh seluruh rakyat Indonesia. "Umat Islam wajib membantu tentara Indonesia yang saat itu baru didirikan untuk melawan Belanda, dan siapa yang gugur mendapat status syahid,” kenangnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Untuk itulah, KH Hasyim Asy’ari memerintahkan KH Wahab Chasbullah dan KH Bisri Syamsuri untuk mengumpulkan Kyai se-Jawa dan Madura. Para Kyai dari itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dan dipimpin Kyai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945. Pada 23 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari, atas nama PBNU, mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. "Itulah yang mendorong kaum muda untuk menyambut seruan Bung Tomo untuk berperang melawan tentara Inggris dan Belanda," paparnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Resolusi jihad itu lahir karena tentara Indonesia yang baru berdiri belum sekuat sekarang, bahkan berdirinya saja masih beberapa minggu. Dalam resolusi itu disebutkan, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada'. Sedangkan warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. "Kesadaran itu menunjukkan bahwa kalangan santri mempunyai nasionalisme yang tinggi untuk mengusir penjajah," terang Kyai yang akrab dengan panggilan Gus Sholah itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Untuk menyambut pidato di radio yang menggelora dari Bung Tomo, maka semakin mantaplah semangat heroisme para pejuang yang berada di lapangan. Tidak hanya itu, laskar Hisbullah dan Sabilillah sebagai sayap militer umat Islam mulai berduyun-duyun memasuki Surabaya untuk menghadang kembalinya sang penjajah. Di antara alumnus kedua laskar yang ikut bertempur di Surabaya itu adalah KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, KH Baidowi, KH Mukhlas Rowi, dan KH Sulanam Samsun.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Tidak beda dengan Jatim bagian Selatan, seruan jihad melawan kolonial juga berkumandang keras di Jatim bagian Utara. Tampil sebagai pelopor adalah KH. Amin dari Tunggul, Paciran, Lamongan, sebagai komandan Hizbullah. Meski saat itu teknologi belum maju, tetapi KH Amin menjalin komunikasi yang baik dengan para Kyai di Jombang, Solo, dan Yogyakarta. "Saat itu sudah ada dua guru dari Muhammadiyah Yogyakarta yang ikut mengajar di lembaga pendidikan yang didirikan Kyai Amin. Namanya Bunyamin dan Mazidah," tutur KH Hazim Amin, anak sulung KH Amin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Sehingga saat mendengar Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan 'misi' mengembalikan Indonesia kepada Belanda, maka KH Amin menggelar rapat bersama para Kyai di wilayahnya. Menurut penuturan Kyai Hazim, pertemuan itu dilakukan di daerah Blimbing, Paciran. Bersama dengan Kyai Ridlwan Syarqowi (pendiri Pondok Modern Muhammadiyah Paciran), Kyai Hazim menjadi saksi pertemuan yang melibatkan KH Adnan Noer, KH Anshory (ayahanda mantan Ketua PDM Lamongan, KH Afnan Anshory), dan KH Sa'dullah. "Namun, saat itu saya masih kecil," tutur pria yang saat ini dipercaya sebagai penasehat PDM Bojonegoro tersebut.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Tidak ketinggalan, KH Amin juga berangkat ke Surabaya, termasuk mengusahakan pendanaannya untuk berangkat. "Untuk pendanaan, beliau menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin," ungkap Kyai Hazim yang saat itu melihat langsung.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Kepahlawanan KH Amin dalam peristiwa 10 November memang cukup legendaris sampai sekarang. Bahkan saat itu ada stasiun radio yang menyiarkan bahwa KH Amin adalah seorang yang tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur di Surabaya. Bahkan, dia juga dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom sebanyak 8 kali. Siaran inilah yang membuat kepulangan KH Amin ke Tunggul disambut oleh 3000-an orang untuk meminta ijazah ‘kekebalan’ darinya. Kondisi ini tentu saja membuatnya marah. “Beliau mengatakan tidak mati karena bomnya meleset," kenang Hazim saat ayahnya datang dari Surabaya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Namun seperti para Kyai pada umumnya, setelah revolusi fisik mereka tidak melanjutkan karier militernya secara maksimal. KH Amin hanya sebentar masuk militer, meski sempat mengalami perubahan nama dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia merasa lebih cocok menjadi pengasuh pondok, sehingga mengundurkan diri dari tentara. "Beliau mundur dari TNI ketika berpangkat mayor," papar Hazim.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Ribuan anggota lain menempuh jalan seperti yang diambil KH Amin, yaitu menanggalkan atribut militer dan kembali ke pesantren. Sebuah langkah sama yang diambil oleh KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, dan KH Baidowi. Sebagian besar bahkan memilih untuk menyingkir dari arena politik sama sekali, sehingga sejarah akhirnya menenggelamkan kiprah mereka yang sebenarnya luar biasa. Bukankah sejarah yang tertulis adalah hak dan kadangkala monopoli golongan atau kelompok yang menang dalam pertarungan politik? <b>mz abidin, riza fachruddin, kholid<o:p></o:p></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Lima butir Resolusi Jihad<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN"><span style="">1.<span style=";font-family:";" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN"><span style="">2.<span style=";font-family:";" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN"><span style="">3.<span style=";font-family:";" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN"><span style="">4.<span style=";font-family:";" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN"><span style="">5.<span style=";font-family:";" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:";font-size:100%;" lang="IN">Kewajiban ini merupakan perang suci bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer. Sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang.<o:p></o:p></span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-33305842266749466132008-11-28T23:24:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.482-07:00T A J U K<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b><span style="" lang="IN">PUTA</span></b><b><span style="" lang="IN">RAN II</span></b></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Pemilihan </span><span style="" lang="IN">G</span><span style="" lang="IN">ubernur (P</span><span style="" lang="IN">ilgub) Jatim kembali dihelat, 4 November ini. Putaran II. Sebabnya, di putaran I, tidak satu pun pasangan calon memperoleh 30 persen suara. Unggulan pertama, pasangan Karsa hanya dapat 4.498.332 suara (26,44 %). Unggulan kedua, pasangan Kaji memperoleh 4.223.089 suara (24,82 %). Sesuai aturan Pilgub, Karsa dan Kaji masuk ke putaran II. Konsekwensinya, negara kembali mengeluarkan uang, demikian juga dengan kedua pasangan calon. Para tim sukses kerja lagi, <i>all out</i>. Banyak tenaga dan pikiran tersita untuk Pilgub. Tentu berimbas pada aktivitas lainnya. Tapi itulah salah satu buah demokrasi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Muhammadiyah Jatim, sebagai ormas keagamaan besar, tentu tak luput dari imbas itu. Bagaimana pun, tidak sedikit anggota Persyarikatan ini ikut ambil bagian dalam perhelatan politik tersebut. Untungnya mereka sangat paham dengan kiprah Muhammadiyah yang tidak melibatkan secara langsung kegiatan politik praktis, melainkan dalam kancah pemurnian ideologi dan sosial. Mereka bisa membedakan kiprah personal dengan kiprah kelembagaan. Mereka tidak menyeret-nyeret Muhammadiyah dalam kancah Pilgub. Hasilnya, Muhammadiyah tidak tercemar, dan aktivitas Persyarikatan tidak sampai ‘tergetar’.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Meski demikian bukan berarti Muhammadiyah tidak peduli dengan kegiatan politik praktis, sebagai bagian tak terpisahkan dari tatanan kehidupan bernegara. Muhammadiyah selalu mengawal aktif dalam setiap even-even politik. Tetapi hanya melingkup pada aspek moral, aspek normatif. Agar geliat politik masyarakat tidak menyimpang dari tatanan moral agama.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Dalam Pilgub putaran II ini, Muhammadiyah Jatim juga aktif mengawal. Untuk itu, PWM Jatim mengeluarkan 5 butir edaran untuk masyarakat Jatim, terutama warga Muhammadiyah. Pertama, Pilgub ini adalah momentum penting untuk menentukan orang yang layak memimpin Jawa Timur. Karena itu, hendaknya masyarakat berpartisipasi aktif dengan cara menggunakan hak pilih untuk calon terbaik. Masyarakat Jawa Timur diharapkan menggunakan hak pilihnya atas dasar pertimbangan-pertimbangan obyektif untuk kepentingan seluruh masyarakat Jawa Timur, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Kedua, dalam seluruh kegiatan Pilgub, hendaknya masyarakat dewasa menghadapi <i>issue</i> dan provokasi dari pihak manapun yang mengadu domba masyarakat. Provokasi yang mencoba membenturkan antar kelompok adalah prilaku yang tidak mendidik.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Ketiga, PWM Jatim akan selalu memberi pendidikan politik sehingga masyarakat Jawa Timur mampu menggunakan hak politiknya dengan cerdas dan dewasa. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Keempat, kepada seluruh masyarakat agar menjaga ketenangan dan ketenteraman selama masa Pilgub, dan ikut mengawal Pilgub agar berlangsung dengan aman dan jujur tanpa provokasi, ancaman, dan manipulasi perhitungan suara. Kekuatan moral, seperti Ormas, LSM, Ulama dan Intelektual perlu menunjukkan teladan yang terpuji dan tidak terlibat dalam tindakan yang tidak mendidik.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Kelima, siapapun yang terpilih dalam Pilgub ini harus diterima dengan besar hati oleh seluruh masyarakat Jawa Timur, dan menjauhkan sikap anarki atau kekerasan lainnya yang akan mencederai <i>al-akhlaq al-karimah</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Muhammadiyah berharap, usai pesta demokrasi ini, masyarakat Jawa Timur tetap utuh. Lebih-lebih umat Islam yang memiliki dasar yang sama, yakni al-Quran dan as-Sunnah, yang menekankan bahwa umat Islam adalah <i>ummatan wahidah</i>, umat yang satu. <o:p></o:p></span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-13309693806586880532008-11-28T23:22:00.001-08:002009-03-22T05:27:52.529-07:00F O K U S III<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Mereka di Balik Perang Itu<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Bagi bangsa Indonesia, peristiwa 10 November 1945 bisa dibilang sebagai anugerah sekaligus musibah. Anugrah karena Surabaya, dengan peristiwa itu, adalah puncak dan poros kesempurnaan revolusi Indonesia. Musibahnya, Surabaya menjadi bara api dan banyak pejuang yang gugur. Waktu itu, semangat pemuda didominasi para santri yang datang dari luar kota. “Banyak yang mendapat warisan senjata Jepang seadanya untuk melawan sekutu,” kata Kadaruslan, Ketua Putera Surabaya (Pusura). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Dalam kacamata seniman yang juga pelaku sejarah 10 November 1945 itu, kemarahan Sekutu dipicu oleh insiden Jembatan Merah. Di depan gedung Internatio, Brigjen AWS Mallaby, jago pemenang perang dunia II mati di tangan orang kampung. Peristiwa itu membuat Sekutu mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata kepada mereka dengan batas akhir tanggal 9 November 1945, jam 18.00 wib. “Kalau tidak menyerah, Surabaya dibumihanguskan,” lanjut pria yang akrab dipanggil Cak Kadar itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Menurut kesaksian Cak Kadar, tanggal 9 November malam, sejumlah tokoh Surabaya rapat. Keputusannya: menolak menyerah. Lalu Doel Arnowo ditugasi berkonsultasi ke Jakarta. Ia telepon Menteri Luar Negeri, Ahmad Soebardjo. Jawabannya, disuruh menunggu, karena pemerintah sedang berunding dengan Inggris. Lalu menelpon Presiden Soekarno. Jawabannya sama. Telepon ketiga baru dapat jawaban. Soekarno bilang: “Terserah Surabaya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Maka sejumlah tokoh yang rapat saat itu sepakat dengan <i>parik-an</i> Suroboyo: <i>Taliduk tali layangan, nyowo situk ilang-ilangan.</i> Mereka memutuskan: Perang ! Diantara sejumlah tokoh itu adalah Kyai Wahab (KH Abdul Wahab Hasbullah), Bung Tomo (Soetomo), Cak Roeslan (Roeslan Abdulgani), Cak Mansur (KH Mas Mansur), dan Cak Arnowo (Doel Arnowo).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Siapakah sebenarnya mereka yang berani memutuskan perang itu?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Soetomo<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Soetomo, yang sering disapa Bung Tomo, lahir di Kampung Blauran, Surabaya, 3 Oktober 1920. Berada di balik <i>microphone</i> RRI, dia menjadi seorang orator ulung yang memompa semangat juang rakyat Surabaya dalam peristiwa 10 November 1945. Dengan nada berapi-api, Bung Tomo selalu memekikkan takbir, kalimat yang lazim digunakan untuk membakar semangad jihad umat Islam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Bung Tomo meninggal dunia pada 7 Oktober 1981 di Makkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazahnya dibawa ke tanah air dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel Surabaya, bukan Taman Makam Pahlawan layaknya pahlawan. Perannya dalam peristiwa 10 November belum mendapat penghargaan dari pemerintah sebagaimana mestinya. Mulai Orde Lama sampai orde sekarang, Bung Tomo belum diakui sebagai Pahlawan Nasional.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">KH Abdul Wahab Hasbullah<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Kyai Wahab adalah panggilan akrab KH Abdul Wahab Hasbullah dalam masa pergolakan. Lahir di Tambak Beras, Jombang, Maret 1888. Dia tumbuh dan besar di lingkungan pesantren. Dialah yang mewakili KH Hasyim Asy’ari dalam memimpin rapat PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), yang diikuti para Kyai NU se-Jawa dan Madura, di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya, pada 22 Oktober 1945. Hasilnya, sepakat mengikuti seruan jihad KH Hasyim Asy’ari untuk berperang mempertahankan kemerdekaan RI. Seruan jihad itu kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Kyai Wahab ikut turun dalam pertempuran 10 November. Ia menjadi Komandan Laskar Mujahidin, sebuah milisi yang melengkapi keberadaan Hizbullah dan Sabilillah. Tokoh revolusioner ini wafat pada 29 Desember 1971, empat hari setelah Muktamar NU XXV. Sama halnya dengan Bung Tomo, sosok peletak konsep badan Syuriah dan Tanfidziah dalam NU ini juga belum diakui sebagai pahlawan di mata pemerintah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">KH Mas Mansur<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">KH Mas Mansur lahir di kampung Sawahan, Surabaya, 25 Juni 1896. Ia kawan akrab KH Abdul Wahab Hasbullah sejak muda. Pada 1937, Mas Mansur hijrah ke Yogyakarta, setelah terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah. Ketika terpilih sebagai Wakil Ketua Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada 1943, dia pindah ke Jakarta. Meski demikian, dia lebih sering dikaitkan dengan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bersama Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Hajar Dewantoro.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Ketika mendengar Surabaya akan digempur Sekutu, Mas Mansur bergegas kembali ke Surabaya pada 9 November 1945. Meski dalam kondisi sakit, dia masih ikut berjuang dan menggerakkan pemuda Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan hingga nafas berakhir. Dia mendatangi tempat-tempat para kaum muda dan membangkitkan semangat perjuangan mereka. Satu tahun kemudian, di tengah kecamuk perang mempertahankan kemerdekaan, dia ditangkap dan ditahan tentara NICA, hingga akhirnya meninggal pada 25 April 1946 di RKZ (Rooms Katholike Ziekenhuis, Rumah Sakit Katolik Roma), di Jl. Darmo, Surabaya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Roeslan Abdulgani <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Roeslan Abdulgani yang akrab dipanggil Cak Roeslan, lahir di Plampitan, Surabaya, 14 November 1914. Cak Roeslan adalah salah satu tokoh pelaku sejarah 10 November 1945, bahkan sebelum peristiwa ini meletus. Dia adalah juru bahasa Surabaya untuk berunding dengan tentara Inggris yang baru mendarat pada 25 Oktober 1945. Selain itu, dia juga menjadi juru runding mewakili pemuda Surabaya ketika bersitegang dengan NICA, akibat tewasnya Brigjen AWS Mallaby.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Cak Roeslan adalah tokoh nasional yang dapat bekerjasama dengan semua rezim pemerintahan sepanjang zaman. Mulai dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Allah swt memanggil ke keharibaan-Nya pada Rabu, 29 Juni 2005, pukul 10.20 wib, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata sehari kemudian. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Doel Arnowo <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Doel Arnowo yang lahir pada 30 Oktober 1904, adalah teman dekat Roeslan Abdulgani sejak muda. Tempat kelahiran keduanya hanya terpisahkan oleh Sungai Genteng. Doel Arnowo berasal dari Genteng, sedangkan Roeslan dari Plampitan. Tidak jauh beda dengan peran Roeslan, Doel Arnowo dalam peristiwa 10 November 1945 juga ikut berjuang dan langsung menghadapi Inggris dan sekutunya, baik saat perundingan maupun pertempuran.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"></span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Oleh gerakan perlawanan, Doel Arnowo adalah penghubung Surabaya dengan pihak Jakarta. Sebab, Menteri Luar Negeri RI saat itu, Ahmad Soebardjo, adalah teman akrab Doel. Ketika Surabaya sudah bersepakat menolak ultimatum Inggris pada 9 November 1945, Doel diamanati melapor ke pusat. Jawaban dari Jakarta awalnya adalah “menunggu”, yang pada akhirnya dijawab “Terserah Surabaya!” Cak Doel meninggal dalam usia 89 tahun, tepatnya pada hari Jumat Kliwon, 18 Januari 1985. <b>mz abidin, kholid</b></span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-79552070898799188112008-11-28T23:22:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.513-07:00F O K U S II<b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">MUASAL PERANG DI TANAH PAHLAWAN</span></b><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Belanda ngotot menjajah kembali Indonesia, setelah Jepang jatuh. Rakyat Indonesia menolak. Perang dahsyat meletus di Tanah Pahlawan, Surabaya.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Enam puluh tiga tahun tahun silam, ‘kebonekan’ rakyat Surabaya dan sekitarnya menjadi inspirasi bagi negeri ini untuk mempertahankan kedaulatan RI melalui pertempuran 10 November 1945. Sebuah peristiwa yang sulit dibedakan, <span style=""> </span>sebagai tindakan berani atau bodoh. Bayangkan saja, hanya bersenjatakan hasil rampasan dan bambu runcing mereka menghadang pasukan pemenang Perang Dunia II yang bersenjata lengkap dan modern. Heroisme ‘model’ bonek inilah yang sampai sekarang diperingati sebagai Hari Pahlawan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Menurut Ketua Umum Putera Surabaya (PUSURA), Kadaruslan, ada tiga peristiwa besar yang melatarbelakangi revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu. Tiga peristiwa itu terjadi dalam waktu 4 bulan berturut-turut: Proklamasi RI 17 Agustus ‘45 di Jakarta, pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 5 Oktober ‘45 di Yogyakarta, dan peristiwa 10 November ‘45 di Surabaya. “Sepuluh November adalah puncak revolusi kemerdekaan Indonesia dengan munculnya perang rakyat terbesar sepanjang perang melawan Sekutu,” tegasnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Pertempuran itu tidak lepas dari kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Bom atom yang dijatuhkan Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 membuat Jepang lunglai, hingga menyerah kalah tanpa syarat pada 15 Agustus 1945. Dalam situasi <i>power vacum </i>di Hindia Belanda inilah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus. Maka, sejak itu muncul berbagai gerakan rakyat untuk melucuti senjata pasukan Jepang. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Ketika gerakan pelucutan itu sedang berlangsung, pada 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta. Tentara ini didatangkan ke Indonesia berdasarkan keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas melucuti senjata tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, dan memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun, kehadiran tentara Inggris ternyata diboncengi oleh Belanda untuk menjajah kembali Indonesia dengan dilibatkannya Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dalam pelucutan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Kenyataan ini meledakkan kemarahan rakyat Indonesia, tidak kecuali di Surabaya, dan bersiap melawan Inggris. Menurut sejarawan Prof Aminuddin Kasdi, sebelum peristiwa 10 November, di Surabaya telah mengindikasikan akan terjadi pertempuran besar. Pada 21 Agustus ’45, Polisi Istimewa (Brimob) yang terbilang mempunyai senjata lengkap dan dipimpin Kompol Muhammad Yasin mendeklarasikan diri sebagai Polisi RI. “Dan Surabaya, melalui Residen Sudirman, mengikrarkan diri sebagai bagian dari RI,” jelasnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Selain itu, lanjut Aminuddin, kelangsungan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Indonesia (KNI), sebelum DPR/MPR terbentuk, sebagai amanat aturan tambahan UUD 1945. Bersamaan dengan pembentukan KNI, Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga dikukuhkan. Rapat KNI 24-27 Agustus ’45 memutuskan bahwa BKR, KNI, dan elemen rakyat belum punya kekuatan senjata. “Karena Jepang sudah harus dilucuti, maka rapat menuntut agar senjata Jepang itu diserahkan kepada rakyat Surabaya,” katanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Pada 17 September 1945, di Surabaya ada peringatan satu bulan kemerdekaan RI. Esok harinya, seorang pemuda mengetahui adanya bendera Belanda yang dikibarkan di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit). Di tempat ini memang terdapat tentara Belanda yang sedang menunggu pembebasan kompatriotnya dari tangan Jepang. Para pemuda memprotes pengibaran bendera itu agar diturunkan. Tetapi karena tidak digubris, maka terjadilah insiden Tunjungan. Yaitu tawuran antara pemuda Surabaya dengan tentara Belanda yang berpuncak pada perobekan bendera Belanda tersebut. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">“Berbagai peristiwa itu sebenarnya mematangkan pemuda Surabaya untuk menentang kolonial yang akan kembali ke Indonesia,” jelas Aminuddin. Kemudian pada 21 September, rakyat Surabaya menggelar rapat besar di lapangan Tambaksari, sebuah acara yang tidak pernah bisa dilaksanakan di Jakarta. Rapat itu sebagai konsolidasi untuk merebut senjata-senjata Jepang dari berbagai pusat kekuatannya di gedung Don Bosco di Jalan Tidar, Pacuan Kuda Sawahan, Gedung Lindeteves, markas Heiho sebelah Hotel Yamato, dan berpuncak pada perebutan markas Kompeitei (Polisi Rahasia Jepang) pada 1 Oktober di daerah Tugu Pahlawan. "Menjelang Oktober, Surabaya sudah lepas dari tangan Jepang. Tinggal komando resminya yang belum diperoleh dan diambil," kata Aminuddin Kasdi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Namun, kehadiran tentara Inggris pada 25 Oktober menimbulkan masalah bagi rakyat Surabaya. Sebab, orang Indonesia tidak mau menyerahkan senjata rampasannya dari Jepang ke Inggris yang ditugaskan Sekutu untuk melucutinya. Maka meletup pertempuran di Jembatan Merah pada 28 Oktober. Begitu hebatnya pertempuran ini, sampai pada 29 Oktober Presiden RI Soekarno dan Mayjen Douglas Cyril<span style=""> </span>Hawthorn mewakili Letjen Sir Philip Christison didatangkan ke Surabaya untuk melerai. "Para pemimpin itu datang untuk berunding dan mendamaikan, sehingga dibentuklah panitia penghubung atau biro kontak," papar Aminuddin. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Setelah dicapai kesepakatan, insiden kembali terjadi dengan terbunuhnya Brigjen Aulbertin Walter Sothern Mallaby sewaktu mengendarai mobil di Jembatan Merah. Tewasnya Mallaby membuat tentara Sekutu marah. Pengganti Mallaby, Mayjen Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjatanya ke Inggris di Jalan Jakarta sambil meletakkan tangan di atas kepala. “Jika sampai 9 November tidak ada keputusan, Surabaya akan digempur dari laut, darat, dan udara,” kata Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jatim itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Pada 9 November ‘45, Gubernur Suryo, Residen Sudirman, dan Bung Tomo berpidato menolak ultimatum Sekutu. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Badan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tentara_Keamanan_Rakyat" title="Tentara Keamanan Rakyat"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;">Keamanan Rakyat</span></a> (BKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk. Selain itu, banyak organisasi perjuangan yang dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Penolakan ini berbuntut pada meletusnya pertempuran 10 November. Pagi itu, tentara Inggris yang bersenjata lengkap dan modern menyerbu Surabaya dari segala sisi. Untuk mendukung pasukan infanteri yang menyerbu dengan tank, Inggris juga mengerahkan pesawat-pesawat untuk membombardir Surabaya. Dari arah pelabuhan Tanjung Perak, meriam dan senapan mesin kapal-kapal perang sekutu memuntahkan peluru-peluru yang diarahkan ke pusat kota Surabaya. Tetapi perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Dengan kekuatan besar, Inggris memperkirakan perang rakyat Surabaya itu bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari. Namun perkiraan itu meleset. Sampai Jenderal Mansergh memutuskan untuk menambah kekuatan militernya dengan mengerahkan tambahan 8 pesawat pembom, 4 pesawat tempur, 21 tank, serta kendaran lapis baja pengangkut pasukan yang dilengkapi senapan mesin berat dalam jumlah besar. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh ke tangan Inggris. Banyak pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. <b>mz abidin, riza fachruddin, kholid</b><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><u><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Boks<o:p></o:p></span></u></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Kronologi Perang Rakyat 1945 di Surabaya<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">25 Oktober, 6000 pasukan Inggris-India yaitu Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigjen AWS Mallaby mendarat di Surabaya untuk melucuti tentara Jepang, tentara dan milisi Indonesia. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">26 Oktober, tercapai kesepakatan antara Gubernur Jatim Suryo, dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata. Terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan Jakarta yang dipimpin Letjen Sir Philip Christison.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">27 Oktober, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran yang memerintahkan semua tentara dan milisi Indonesia menyerahkan senjata.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">28 Oktober, pasukan Indonesia dan milisi menggempur tentara Inggris. Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan panglima tentara Inggris Divisi 23, Mayjen DC Hawthorn pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">29 Oktober, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen DC Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">30 Oktober, dicapai persetujuan genjatan senjata antara RI dengan Inggris, dan Mayjen Hawthorn dan ketiga pemimpin RI kembali ke Jakarta. Namun, pada sore harinya mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby meledak saat melintas di gedung Internatio, Jembatan Merah, hingga menewaskan dirinya bersama sopir. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">1 November, Mayjen Mansergh mengultimatum rakyat untuk menyerahkan senjatanya ke tentara Inggris di jalan Jakarta sambil meletakkan tangan di atas kepala. Namun, ultimatum ini tidak pernah diindahkan.<o:p></o:p></span></p> <span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">10 November, Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dengan mengerahkan serdadu, pesawat terbang dan kapal perang.</span>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-70253169453107182652008-11-28T23:17:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.543-07:00R I S A L A H<p style="text-align: center;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:11;" >SYARI’AH<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: center;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:11;" >Oleh: Prof Dr H Syafiq A. Mughni M</span><span style=";font-family:";font-size:11;" >A<br />Ketua PWM Jatim<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: center;" class="MsoNormal"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiBPaGqVJ5lBsRWeWvwuyFohYQrLYMEvuPtatUmcJQq2axIrDvL9r-bMFAuXwO3x0apQ7lBlNgY3vex7w-TwKjp6pJXn-tAeRNhZCDlPuQpUwf2-OHrKWe4sBai5OgTCafyJW5Mh2-fLrI/s1600-h/syari'ah.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 100px; height: 66px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiBPaGqVJ5lBsRWeWvwuyFohYQrLYMEvuPtatUmcJQq2axIrDvL9r-bMFAuXwO3x0apQ7lBlNgY3vex7w-TwKjp6pJXn-tAeRNhZCDlPuQpUwf2-OHrKWe4sBai5OgTCafyJW5Mh2-fLrI/s400/syari'ah.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5273976040481912018" border="0" /></a></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:11;" >Setiap pekan ada acara yang disebut<span style=""> </span>‘Asia-at-Noon’ di kampus State University of <span style=""> </span>New York. Pada Oktober 2006, acara itu diisi diskusi bertajuk <i style="">The Place of Indonesia in Islamic World</i>.<span style=""> </span>Isinya membahas peran negara kita dalam percaturan dunia Islam. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> sebuah pertanyaan yang disampaikan oleh peserta menyangkut syari’ah yang pada saat itu menjadi isu di masyarakat. Tentu saja pertanyaan itu kemudian merambah ke Piagam Jakarta, platform partai-partai politik, peraturan daerah (perda), dan sebagainya. </span><span style=";font-family:";font-size:11;" lang="ES" >Mereka bertanya dengan rasa ketakutan bahwa Indonesia akan menjadi negara kejam dan diskriminatif. Mereka menyaksikan melalui media massa tentang wacana dan demonstrasi yang mengusung isu syari’ah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:11;" lang="ES" >Dalam al-Qur’an, kata syari’ah disebut hanya sekali, yakni Surat al-Jatsiyah: 18. <i style="">Tsumma ja’alnaka ‘ala syari’atin min al-amr </i>(kemudian kami jadikan engkau berada di atas syariat dari urusan itu)<i style="">. </i>Sekalipun hanya disebut sekali, kata-kata itu dalam proses sejarah Islam menjadi sangat penting. Di masa kini, kata-kata itu semakin penting. Ada Mahkamah Syari’ah, ada Fakultas Syari’ah, ada Bank Syari’ah, dan ada juga Gerakan Pro-Syari’ah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:11;" lang="ES" >Dalam kitab <i style="">Lisan al-Arab </i>karya Ibn al-Mandhur, syari’ah berarti tempat air di tepi laut, tempat binatang minum. Bisa juga berarti jalan menuju mata air. Kemudian dalam konteks Islam, kata penulis tersebut, syari’ah bermakna apa yang ditentukan dalam agama. Pengertian ini menunjukkan cakupan syari’ah yang sangat luas. Ia mencakup seluruh amal perbuatan manusia yang diajarkan dalam Islam, mulai dari urusan makro sampai mikro. Mulai dari persoalan hubungan internasional sampai ke persoalan perilaku individual. Dengan kata lain, syari’ah menyangkut ajaran <i style="">akhlaq</i> (etika atau moral), <i style="">muamalah</i> (hubungan antarmanusia) dan <i style="">ibadah</i> (hubungan manusia dengan Tuhan).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:11;" lang="ES" >Namun, ada kalanya syari’ah mengalami penyempitan makna. Syari’ah dipahami hanya sebagai hukum-hukum agama; bahkan dipersempit lagi menjadi hukum fikih; dipersempit lagi menjadi hukum perdata dan pidana. Yang sangat menggelisahkan adalah bahwa syari’ah diidentikkan hanya dengan hukum rajam dan potong tangan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:11;" lang="ES" >Bagi umat Islam, sesungguhnya tidak ada persoalan bahwa syari’ah adalah jalan hidup yang tidak bisa ditawar. Persoalannya terletak pada pemahamannya. Syari’ah harus dipahami secara komprehensif dan harus terwujud dalam kehidupan nyata. Karena itu, mendidik masyarakat untuk bisa bersuci secara higenis, misalnya, adalah manifestasi dari syari’ah. Bersuci tidak hanya cukup dengan menggunakan ukuran formalitas fikih saja. Bersuci sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan adalah bagian dari pelaksanaan syari’ah. Berjuang untuk melawan kemiskinan dan kebodohan adalah bagian dari syari’ah. Berjuang untuk menegakkan keadilan dan martabat manusia adalah juga bagian dari syari’ah. Demikian juga, memberantas korupsi dan menegakkan amanah adalah kewajiban syari’ah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:11;" lang="ES" >Menegakkan syari’ah memerlukan strategi. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan semangat dan keikhlasan. Semangat dan keikhlasan adalah penting, tetapi belum cukup untuk menjadikan perjuangan itu berhasil. Perjuangan memerlukan strategi. Karena itu, tidaklah cukup menegakkan syari’ah dengan memasang spanduk di jalan-jalan, atau demonstrasi. Apalagi dengan menakut-nakuti orang di jalan. Strategi itu akan menimbulkan ketakutan. Syari’ah kemudian dikesankan sebagai simbol yang menakutkan, bukan yang dibutuhkan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:11;" lang="ES" >Strategi menegakkan syari’ah melalui pendidikan dan layanan sosial tidak kalah penting. Penegakan syari’ah melalui jalan damai dan realistik akan lebih efektif. Karena itu, menjadikan syari’ah sebagai isu politik tidaklah produktif. Lebih baik kita mendorong esensi syari’ah yang berorientasi pada kemaslahatan, misalnya menjadi ruh bagi seluruh produk legislasi.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:";font-size:11;" lang="ES" ></span><span style=";font-family:";font-size:11;" lang="ES" >Kegagalan aktivis Islam dalam memahami syari’ah akan merugikan dakwah Islam. Lebih fatal lagi jika isu syari’ah hanya bertujuan politis dan berjangka pendek. Bisa dipahami jika masyarakat non-Muslim, seperti yang terlihat dalam forum Asia-at-Noon itu, merasa miris mendengarkan kata-kata ‘syari’ah’ karena berkonotasi hukum rajam, potong tangan, dan diskriminasi.</span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-58835193077895615402008-11-28T23:13:00.001-08:002009-03-22T05:27:52.568-07:00S O S O K<p class="MsoNormal"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">OPICK<br />Mantan Rocker Penggemar Rumi<o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Obat hati ada lima perkaranya<br />Yang pertama baca Quran dan maknanya<br />Yang kedua sholat malam dirikanlah<br />Yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh<br />Yang keempat perbanyaklah berpuasa<br />Yang kelima dzikir malam perbanyaklah<br />Salah satunya siapa bisa menjalani<br />Moga-moga Gusti Allah mencukupi<o:p></o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Siapa yang tak kenal dengan pelantun lagu <i>tombo ati </i>ini? Surban putih yang tidak pernah lepas dari kepala saat berdendang adalah identitas yang tidak bisa dipisahkan dari penyanyi satu ini. Dengan jenggot tipis yang menghiasi dagunya, dia selalu terlihat sepenuh hati dalam memuntahkan sajak-sajak religinya. Tidak terasa, syair-syair yang disenandungkan mampu menggetarkan hati siapa pun yang mau menyimak dan menghayati maknanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Ya, dialah Aunur Rofiq Lil Firdaus, atau yang lebih dikenal dengan nama Opick. Lagu religi tampaknya telah menjadi bagian yang tidak lepas dari pria kelahiran Jember, 16 Maret 1974 ini. Lirik-lirik lagunya yang bernuansa religius tidak hanya diminati oleh penggemar musik religi, bahkan kalangan muda penyuka musik aliran pop pun menggemarinya. Karena aktifitasnya dalam lagu Islami, dia dinobatkan sebagai duta grup musik Islami <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nasyid" title="Nasyid"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;">Nasyid</span></a> oleh Lembaga Nasyid Nusantara.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Menekuni dunia musik religi mungkin tidak terpikir sebelumnya oleh penyanyi yang satu ini. Betapa tidak, pada awalnya dia sudah bergelut lama dalam musik bergenre rock, bahkan telah membuat 5 album hasil kolaborasinya dengan beberapa band lain. Album pertama Opick di Log Zelbour, album ke-2 nya di Airo, album ke-3 bersama Kla Project, kemudian album ke-4 bersama Pai, Slank, dan Bongki, dan album ke-5 bersama band Plastik. Namun kelima album itu ditolak oleh perusahaan rekaman.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Di samping penolakan beruntun yang diterimanya, setelah album kelima itu Opick mulai gelisah. Sebab banyak temannya sesama penyanyi pop-rock tersandung kasus narkoba. Pada saat itulah dirinya ditawari menyanyikan lagu <i>Tombo Ati </i>oleh Ustad Arifin Ilham dalam album <i>Tausiyah Dzikir dan Nasyid</i> yang kemudian melambungkan namanya. "Saya kepingin lagu religi itu bisa menjadi <i>mainstream</i> dan bisa disejajarkan dengan musik-musik lain," ungkapnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Tahun 2005 merupakan awal perjalanan karir baru bagi anak keempat dari lima bersaudara ini. Album pertamanya, setelah dia banting setir menjadi penyanyi religi, mendapat sambutan yang meriah dari pasar. Dalam album ini, Opick bekerjasama dengan banyak musisi dan artis lain. Dalam lagu <i>Cukup Bagiku</i> misalnya, dia berkolaborasi dengan Gito Rollies. Selain itu, dalam lagunya yang lain, dia menggandeng Ustadz Jefri Al Buchori serta penyanyi cilik, Amanda.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Album Istighfar yang dirilis Opick menjelang Ramadhan 1426 H (2005) itu melambungkan namanya. Sebab, hanya dalam jangka sebulan, atau selama bulan Ramadhan, album tersebut terjual hingga 310 ribu kopi, dan meraih dobel platinum. "Alhamdulillah, surprise, senang dan haru. Semoga siapa saja yang mendengarkan album ini, mendapat setitik hidayah seperti saya," kata Opick saat menerima penghargaan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Dalam perjalanan selanjutnya, dari 10 lagu yang terdapat dalam album Istighfar, 9 di antaranya dipakai oleh berbagai judul sinetron sepanjang tahun 2005 dan paruh pertama 2006. Dalam masa inilah, album Istighfar mampu menembus penjualan lebih dari 800 ribu kopi dan mendapat penghargaan lima platinum sekaligus. Sebab, satu platinum sama dengan penjualan 150 ribu keping. "Sebuah keberkahan bagi saya mendapatkan penghargaan lima platinum ini," kata Opick dalam jumpa pers sesaat setelah penghargaan ketika itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Tahun 2006 Opick meluncurkan album berjudul<i> Semesta Bertasbih</i>. Dalam album ini terdapat sepuluh lagu, di antaranya adalah <i>Taqwa, Irhamna, Takdir, Teranglah Hati, 25 Nabi, Semesta Bertasbih, Bismillah, Satu Rindu, Buka Mata Buka Hati</i> dan <i>Ya Rasul</i>. Sebagai lagu hit dalam album tersebut adalah <i>Takdir</i> yang dinyanyikannya bersama <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Melly_Goeslaw" title="Melly Goeslaw"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;">Melly Goeslaw</span></a>. Selain dengan Melly, Opick juga berduet dengan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Wafiq_Azizah&action=edit&redlink=1" title="Wafiq Azizah (belum dibuat)"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;">Wafiq Azizah</span></a> dalam lagu <i>Yaa Rasul</i>, dengan grup nasyid <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa_Lima" title="Pandawa Lima"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;">Pandawa Lima</span></a> dalam lagu <i>Teranglah Hati</i>. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Tidak lama setelah album Semesta Bertasbih dilansir, Opick mengeluarkan buku berjudul <i>Opick, Oase Spiritual Dalam Senandung</i>. Peluncuran buku dimaksudkan agar para pendengar dapat mengerti isi lirik pada tiap lagu. "Jadi supaya mereka sedikit mengetahui mengenai latar belakang dan tujuan satu lirik di setiap lagu yang mereka dengar atau senandungkan," ujarnya. Selain penjelasan, buku ini juga menceritakan perjalanan Opick dalam meraih 'mimpi', termasuk saat bekerja sebagai tukang bangunan untuk membiayai bandnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Kemudian pada 2007, Opick kembali merilis lagu dengan judul <i>Ya Rahman.</i> Dan sebelum Ramadhan 2008, dia merilis album ke-4 dengan judul <i>Cahaya Hati</i>. Tidak jauh beda dengan albumnya yang sudah-sudah, Opick tetap mengangkat nuansa kerinduan dengan Tuhan dalam album terbaru ini. "Nuansa masih sama seperti yang lama, tentang kerinduan pada Tuhan. Tapi tetap ada cerita sendiri-sendiri dalam materi lagunya," terang Opick saat peluncuran album barunya itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Menurut Opick, menyanyikan lagu religi artinya adalah berdakwah melalui musik. Musik masih belum optimal dimanfaatkan sebagai lahan dakwah, terutama kepada remaja. Karena itu, dalam setiap lagu yang dinyanyikannya, Opick selalu berusaha agar syairnya mudah dimengerti orang dan menjadi inspirasi bagi orang lain untuk menjadi lebih baik. ”Dengan bermusik religi, kita membawa mereka kepada nilai-nilai Islam dengan bingkai hiburan. Dengan begitu dakwah bisa masuk dan pendengar juga terhibur,” terangnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Dengan misi dakwah inilah, tidak heran jika Opick tidak lupa menyampaikan pesan-pesan moral yang disisipkan dalam setiap lagunya. Layaknya seorang tokoh agama menasehati umat melalui khutbah, Opick juga mempunyai tujuan yang sama dengan syair-syairnya. Menyanyi dan berkhutbah memang sesuatu yang berbeda, tetapi oleh Opick keduanya bisa memiliki fungsi yang sama. Berkhutbah berusaha menyadarkan orang, begitu pun dengan menyanyi yang selama ini juga dimanfaatkan Opick sebagai sarana khutbahnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">"Saya melalui lagu, layaknya khutbah lewat syair," ungkap Opick. Dengan misi dakwah ini pulalah, Opick tidak pernah melihat band atau penyayi lain yang menyanyikan lagu religi sebagai pesaing. Dia justru merasa senang, karena dengan demikian akan semakin banyak lahir lagu yang berfungsi sebagai media dakwah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Karena lagu-lagu yang disenandungkannya sarat dengan nilai dakwah, maka salah satu pilar terpenting yang harus dimiliki penyanyi adalah fans. Keberadaan mereka sangatlah berarti, meski bukan segala-galanya. Namun Opick juga memberi catatan bagi penyuka lagunya, jangan sampai mereka terlalu mengidolakannya. ”Ada kehawatiran dalam diri saya kalau fans terlalu mengidolakan saya. Saya takut mereka akan kecewa kepada Opick karena tidak sesuai dengan apa yang mereka bayangkan. <i>Mending </i>mengidolakan Nabi Muhammad saja <i>lah, </i>beliau adalah teladan kita,” akunya.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"></span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Selain bermain musik, penyanyi yang selalu tampil bersorban ini juga menggemari teater dan menggambar. Di samping itu dia hobi membaca terutama karya-karya Jalaluddin Rumi, penyair dan sufi asal Afganistan. Menurutnya, karya Rumi sangat inspiratif dan menggugah. “Waktu senggang saya sangat suka membaca karya Rumi. Coba anda juga baca, saya kira akan bermanfaat,” katanya diakhir pembicaraan. <b>af kareem, kholid</b></span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-62604215486412192902008-11-28T23:13:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.463-07:00K O L O M<p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="IN">MOHAMMAD NATSIR </span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"> </p> <div style="text-align: left;"><div style="text-align: center;"><span style="" lang="IN">Oleh: Drs Nur Cholis Huda MSi</span><br /></div></div> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="IN">Wakil Ketua PWM Jatim</span><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFHCXN8hhc9LTC2ww-DefD6gPdJ9c8f_MEcCKgiIp2zokvyPtqlofb6hJz1CY2A0YplJJNHtdZlgZT_SEKcSqXRVrHab3i4qwnF41oDco6TmOPSJK6PTxtDHfOVm-wVPXXr560fD71lmKr/s1600-h/m.natsir.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 100px; height: 152px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFHCXN8hhc9LTC2ww-DefD6gPdJ9c8f_MEcCKgiIp2zokvyPtqlofb6hJz1CY2A0YplJJNHtdZlgZT_SEKcSqXRVrHab3i4qwnF41oDco6TmOPSJK6PTxtDHfOVm-wVPXXr560fD71lmKr/s400/m.natsir.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5273975371938222066" border="0" /></a><br /><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style=""> </span>Ketika bangsa ini memperingati hari pahlawan, saya teringat Mohammad Natsir (1908-1993). Dia putra Indonesia dengan banyak kelebihan, sarat keteladanan, banyak jasa dan pengabdian pada Republik ini. Namun Natsir <span style=""> </span>terabaikan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Dia seorang guru bangsa dan negarawan jujur. Ketika menjadi Menteri Penerangan (3 kali dan 1 kali Perdana Menteri), setiap pidato Soekarno pada 17 Agustus tak lepas dari hasil sentuhan tangannya. Sejarah juga mencatat jasa besar Natsir menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari perpecahan berkeping-keping. Saat itu Indonesia dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) telah terbagi menjadi 16 negara bagian. Kepiawaian Natsir sebagai negarawan nampak ketika dalam sidang DPR RIS, April 1950. Ia membuat statemen yang terkenal dengan Mosi Integral Natsir. Dengan pikiran cemerlangnya, pada Agustus 1950 semua bersedia kembali menyatu dalam NKRI. Namun arsitek NKRI ini seakan ‘dicampakkan’ dari sejarah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Di masa Orde Lama dia ditahan Soekarno. Di masa Orde Baru dibelenggu Soeharto dari segala kegiatan politik. Ketika keluar tahanan, dia tidak punya rumah. Lalu mengontrak rumah kecil berukuran 4 x 4 meter di sebuah gang. Anak-anaknya dititipkan tidur di familinya karena rumah itu tak cukup untuk seluruh anggota keluarga. Beberapa tahun kemudian baru bisa<span style=""> </span>beli rumah di Jl. Cokroaminito 46, daerah Menteng, dengan menyicil. Ketika beliau wafat, anak-anaknya tidak mampu membayar pajak rumah itu, lalu dijual.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Natsir dikenal sangat sederhana. Dia tak malu sebagai Menteri memakai jas bertambal karena tak punya yang lain. Ini membuat sejarawan George Mc Turnan Kahin hormat dan kagum. Dia Perdana Menteri dengan mobil kusam dan menggeleng ketika ditawari sedan Impala. Dia pemimpin umat yang kantong kemejanya bernoda bekas tinta. Kepada mereka yang mengaku murid dan anak ideologi Natsir ingatlah kesederhanaan Natsir itu. Malulah menjadi politisi serakah, politisi busuk, politisi kutu loncat atau pejabat aji mumpung.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Natsir seorang yang lembut dan menjunjung perasahabatan. Sekalipun sangat anti komunis, tetapi setelah istirahat dari sidang dengan debat yang panas, ia makan sate ayam bersama dengan Ketua PKI, DN Aidit. Tidak ada kebencian pribadi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Pada masa Presiden Habibie, Natsir mendapat bintang Maha Putra. Tapi banyak masyarakat meminta agar Natsir diberi penghargaan lebih dari itu: gelar pahlawan. Selain berjasa menjadikan Indonesia sebagai NKRI, ketika menjabat Perdana Menteri, Indonesia masuk menjadi anggota PBB. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">.<span style=""> </span>Tapi gelar pahlawan belum bisa diberikan kepada Natsir. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah yang ‘pengikut’ Natsir menyatakan sudah berusaha memperjuangkan sesuai kewenangannya. “Bahwa sampai kini belum berhasil, itu soal lain,” katanya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Keterlibatan Natsir dalam PRRI agaknya menjadi kendala. Dia dan kawan-kawan mendapat amnesti. Justru itu ia diangap pernah bersalah. Ada semacam doktrin bahwa gelar pahlawan itu diberikan kepada ‘orang yang tidak pernah cacat’. Menurut Jimly Ashiddiqie tidak pernah cacat itu relatif. Anak Agung Gede Agung diberi gelar pahlawan padahal dia pernah memimpin Negara Indonesia Timur. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Tapi Sultan Hamid dari Pontianak tidak mendapat gelar pahlawan karena pernah mempertahankan RIS. Padahal dia berjasa besar, bersama Bung Karno menciptakan lambang Garuda Pancasila. Lain lagi Tan Malaka. Setelah<span style=""> </span>mendapat gelar pahlawan ia lalu melakukan tindakan yang bisa digolongkan melanggar Negara. Tapi gelarnya tidak dicabut. Syahrir lebih unik. Ia ditahan Bung Karno bersama Natsir dkk, lalu meninggal ketika masih dalam status tahanan karena sakit. Buru-buru Bung Karno mengeluarkan SK gelar pahlawan kepada Syahrir. “Apakah ini cara Bung Karno menghapus dendam?” kata sejarawan Taufik Abdullah. Karena itu menurut Jimly harus ada kajian ulang soal definisi pahlawan.(Lihat 100 tahun Moh Natsir).</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"></span><span style="" lang="IN">Pejuang sejati selalu berkata: <b>“</b><i style="">Aku tidak berharap balasan dari kalian, tidak juga ucapan<span style=""> </span>terima kasih”<b style=""> </b></i>(QS. 76 : 9)</span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-7722863809610499262008-11-28T23:10:00.001-08:002009-03-22T05:27:52.599-07:00T A R I K H<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">H Ansyari Tayib</span><br /><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Berhenti di Lajur Idealisme<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Dunia jurnalistik kehilangan salah seorang pilarnya. Begitulah kata semua media cetak Jatim ketika H Ansyari Tayib berpulang dalam usia yang belum terlalu tua, 61 tahun. Hari-hari itu mereka menorehkan tinta terindahnya untuk mengiringi kepergian mantan Ketua PWI Jatim, pengganti Dahlan Iskan itu. "Tidak mengira, dalam hal kematian, dia mendahului saya," tulis pemilik Jawa Pos grup itu tentang misteri kematiannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Siang itu, Rabu (10/9) pukul 13.00 wib, Ansyari Tayib menghembuskan nafas terakhir di RSU Dr Soetomo setelah menjalani perawatan selama dua pekan. Memang, sejak pensiun dari Komnas HAM, Ansyari sudah mulai sakit dan masuk ke Graha Amerta RSU Dr Soetomo. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Banyak yang perlu diingat ketokohan kader Muhammadiyah itu dalam membela HAM dan pers. Selama hayatnya, almarhum dikenal sebagai aktivis dan pejuang yang hanya bersenjata ‘pena’. Hampir semua ide, gagasan, dan aktivitas yang mencerminkan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai yang diyakininya selalu dituangkan dalam tulisan. Banyak buku dan tulisannya yang tersebar di media massa. Selain itu, banyak penulis yang lahir dari bimbingannya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Selain aktivitas menulis, sederet jabatan memang pernah melekat, di antaranya Ketua PWI Jatim. Selain itu pernah menjadi wartawan Tempo, kemudian menjadi wartawan Harian Surya. Almarhum juga pernah terpilih menjadi salah seorang komisioner hak-hak asasi manusia bersama orang-orang yang dikenal integritasnya, seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara, Soetandyo Wignjosoebroto, Habib Chirzin, dan MM Billah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Menurut Zainuddin Maliki, Anshary adalah sosok yang pantas dicatat dengan tinta emas sebagai jurnalis yang berkarakter. Misalnya ketika memimpin PWI Jawa Timur sebelum Dhimam Abror Djuraid. Di tengah situasi korporatisme negara, almarhum berhasil mengawal PWI tidak terkooptasi oleh kekuasaan. Dia mengawal organisasinya dengan semangat kemandirian, yang salah satu caranya adalah memilih menolak meminta dana dari pemerintah. "Meskipun berbeda halnya kalau pemerintah memberi atas kemauannya sendiri," kenang Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Komitmen yang tinggi juga ditunjukkan Anshary saat mengemban amanah sebagai seorang komisioner HAM. Almarhum banyak turun ke lapangan, menangani kasus-kasus pelanggaran HAM di seluruh Indonesia dari perkotaan sampai di pelosok desa, bahkan di tengah rimba dan pucuk gunung, mulai dari Aceh, Lampung, NTT hingga Papua. Almarhum menemui orang-orang yang terpinggirkan, orang-orang yang lemah, yang tak kuasa menghindar dari terjangan mesin korporatisme negara yang semena-mena. ''Kalau sudah prinsipnya, sudah tidak bisa ditawar lagi," papar Zainuddin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Keasyikan menjalankan tugas-tugas berat tapi mulia itu tampaknya membuat almarhum tidak sempat memerhatikan kesehatannya. Di tengah-tengah kepadatan agenda menangani kasus-kasus HAM, almarhum terkena stroke ringan. Meski terobati, tidak bisa pulih seperti sedia kala. Dalam keadaan kesehatannya tidak lagi seratus persen, almarhum tetap berusaha menempatkan ‘pena selalu digenggamannya’. Tulisan yang mengekspresikan ide dan gagasan pemihakan, pemberdayaan, dan pembelaannya kepada mereka yang terpinggirkan masih muncul di media dan naskah buku. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Sampai akhirnya dia menemui panggilan Allah swt dengan meninggalkan istri tercinta, Hj Sri Hastuti, dan dua anak. Anak sulungnya, Syarifa Hanoum, adalah dosen di Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), sedangkan anak keduanya, Iqbal An Hariansyah adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang. <b>kholid</b><o:p></o:p></span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-61307735761688519592008-11-28T23:10:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.583-07:00L A P S U S<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Terus Bergerak Meski Tidak Berbunyi<o:p></o:p></span></b><br /><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Ada pemandangan cukup unik di aula Mas Mansur pada siang hari menjelang sore Kamis (16/10). Layaknya panggung pertunjukan, gedung lantai tiga kantor PWM itu menjadi tempat konser penyanyi cilik dari SD Muhammadiyah 16 Kreatif Surabaya. Tidak beda dengan nama sekolahnya, mereka secara kreatif menunjukkan keahlian bermusiknya dengan menyanyikan lagu-lagu religi dengan irama bergenre rock. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Itulah hiburan yang menjadi awal dari acara halal bi halal yang digelar PWM Jatim. Ratusan pengurus PWM Jatim dan Ortomnya: Aisyiyah, Tapak Suci, Hizbul Wathan, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah hadir dalam acara yang dipandu oleh Wakil Sekretaris PWM Tamhid Masyhudi. Nuansa Idul Fitri masih begitu tampak dalam kegiatan ini, dengan berbaurnya para tamu menjadi satu untuk saling minta maaf dan memaafkan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Seperti tradisi yang sudah tertanam kuat dalam Muhammadiyah hingga tingkat Ranting, sebuah acara tidak lupa diiringi dengan ceramah iftitah. Wakil Ketua PWM Jatim, Noer Cholis Huda, ketiban bagian yang dalam masyarakat dikenal dengan istilah siraman rohani. Dalam ceramahnya yang tidak sampai 10 menit itu, Noer Cholis mengingatkan para undangan agar menjaga kesucian pasca-Ramadhan, apalagi<span style=""> </span>ketika ber-Muhammadiyah. "Muhammadiyah harus memberikan manfaat sebagaimana lambangnya matahari yang bersinar, yaitu memberi, mencerahkan, dan membebaskan," tutur penulis buku <i>Anekdot Tokoh-Tokoh Muhammadiyah </i>itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Acara dilanjutkan dengan kesan para Pemimpin Redaksi (Pimred) Harian di Surabaya terhadap gerakan Muhammadiyah dalam bidang ideologi, <span style=""> </span>pendidikan dan kesehatan, serta politik. Sebagai 'kritikus' pertama yang tampil adalah Dhimam Abror Djuraid, Pimred Surabaya Post. "Saya bingung, sebenarnya saya ini ngomong sebagai orang luar yang di dalam atau orang dalam yang di luar," kelakar Dhimam mengawali kesan-kesannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Dhimam, yang tercatat sebagai pengurus Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PWM Jatim itu lantas melanjutkan kritiknya dengan mengambil setting kedua anaknya yang sekolah di SDM 16 dan alumnus SDM 4. Beranjak dari cerita itu, Dhimam berharap agar kreativitas para pengelola sekolah tingkat dasar juga terjadi di tingkat menengah. "Selain itu, tren industrialisasi pendidikan yang sedang marak saat ini jangan sampai masuk ke Muhammadiyah," pesannya lagi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Soal politik, putra Kyai legendaris Muhammadiyah Surabaya, alm. KH Djuraid itu mengaku bersyukur terhadap kiprah Muhammadiyah. Meski kebanyakan masyarakat menjadikan politik sebagai 'panglima', tetapi Muhammadiyah Jatim mampu menempatkan bidang ini dalam posisi yang sewajarnya. Meski demikian, Dhimam juga tidak lupa memberikan 'pekerjaan rumah' kepada Muhammadiyah terkait dengan politik kebangsaan, bahkan mondial. "Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana Muhammadiyah menghasilkan tokoh, pengusaha, dan ilmuan yang mampu meraih nobel," tuturnya berharap.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Sebelum mengakhiri kesan-kesannya, Dhimam menyinggung 'iklan gratis' Muhammadiyah melalui film Laskar Pelangi yang saat ini lagi <i>booming</i>. Dengan tegas, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim itu justru 'berfatwa' bahwa Laskar Pelangi adalah film yang wajib ditonton. "Di tengah keterbatasan, ternyata sekolah Muhammadiyah bisa melahirkan tokoh-tokoh yang mampu menjawab tantangan zaman," komentar Dhimam yang juga mengingatkan masa kecilnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Pada sesi kedua disampaikan Riadi Ngasiran dari Duta Masyarakat, harian yang dikenal sebagai koran Nahdlatul Ulama (NU). Ia lebih banyak berbicara tentang dinamika pemikiran dalam organisasi keagamaan. Karena tumbuh besar dalam lingkungan <i>nahdliyin</i>, dia memaparkan masalah ini dengan mengomparasikan apa yang terjadi di NU disandingkan dengan Muhammadiyah. Menurutnya, sebagai ormas yang tua, Muhammadiyah harus menjadi tempat yang nyaman bagi <i>management of idea</i> secara sehat. "Dan selama ini, dinamika itu masih berjalan secara sehat dan dilakukan dengan cara yang sehat dalam menuju titik temu," tuturnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Di luar itu, masalah yang tidak boleh dilupakan oleh Muhammadiyah Jatim, menurut Riadi, adalah kemiskinan dan kebodohan. Karena mayoritas masyarakat Jatim tinggal di pedesaan, sebuah fotografi yang erat dengan kebodohan dan kemiskinan, maka saatnya Muhammadiyah 'turun gunung'. Sebab, dua masalah yang menjadi sumber keterbelakangan itu memang tanggung jawab semua pihak. "Karena itu, Muhammadiyah jangan selalu bersifat urban (perkotaan-red) dan elitis," tukasnya mengakhiri kesannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Komentator terakhir yang tampil adalah Redaktur Jawa Pos, Tofan Mahdi. Senada dengan Dhimam, dia juga memberikan apresiasi terhadap langkah-langkah Muhammadiyah Jatim dalam menyikapi gejolak politik, termasuk di Jatim. Namun dalam masalah ekonomi, Tofan memberi kritik cukup pedas, meski tidak menohok. "Para ekonom dan pengusaha Muhammadiyah seringkali ketinggalan momentum," komentar redaktur yang kebetulan mengasuh rubrik ekonomi Jawa Pos itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Tofan kemudian menyontohkan tentang ketidaksegeraan para ekonom dan pengusaha Muhammadiyah dalam merespons krisis finansial akhir-akhir ini. Padahal menurutnya, krisis ini adalah kesempatan terbaik bagi masyarakat Muslim untuk memperkenalkan ekonomi Islam dan mempraktikkannya. Apalagi krisis ini terkait dengan masalah perbankan yang memperlakukan uang sebagai komoditas. "Bukankah dalam ekonomi Islam, uang adalah alat tukar, bukan komoditas?" jelasnya setengah bertanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Pada puncak acara, Ketua PWM Jatim, Syafiq A. Mughni, tampil memberikan respons. Syafiq lalu mengutip pernyataan seorang pejabat non-Muhammadiyah dalam menilai Muhammadiyah Jatim, bahwa Muhammadiyah terus bergerak, meski tidak ada bunyinya. Artinya, dalam kondisi apa pun, Muhammadiyah selalu menambah amal usahanya (AUM) hingga sekarang tersebar di seluruh penjuru Jatim. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Hal itu terbukti misalnya, memiliki lembaga pendidikan tingkat dasar hingga menengah sebanyak 925. Sebuah jumlah yang seringkali membuat banyak pihak agak kurang 'percaya'. Apalagi data kuantitatif itu hanya di Jatim, daerah yang notabene Muhammadiyah bukan mayoritas. "Kami sebenarnya ingin, selain bergerak juga berbunyi," lanjut Syafiq mengomentari kurangnya publikasi atas keberhasilan Muhammadiyah Jatim ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Namun melihat kondisi dan situasi yang ada, ternyata harapan memang tidak selamanya cocok dengan realitas. Karena itu, jelas Syafiq, jika memang Muhammadiyah tidak bisa kedua-duanya, maka minimal bisa satu. Dan tentu yang dipilih adalah bergerak, bukan berbunyi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Tidak ketinggalan, Syafiq juga menyoroti berbagai masalah kontemporer di Jatim. Dalam situasi apapun, Muhammadiyah berkeinginan agar Jatim tetap dalam keadaan tentram dan damai. Karena itu, Muhammadiyah akan selalu melakukan fungsinya dengan mendorong terciptanya situasi yang mendukung semua pihak untuk berpikir secara jernih. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Dalam masalah politik misalnya, agenda yang dilakukan Muhammadiyah adalah pendewasaan dan pendidikan politik. Lebih utama adalah penyadaran tentang konsekuensi demokrasi, sistem politik yang telah dipilih bangsa ini. Muhammadiyah mendorong warganya agar menggunakan hak pilihnya secara cerdas dan kritis dalam memilih pemimpin yang berkomitmen memberantas korupsi, mengutamakan kepentingan rakyat, dan bersikap adil terhadap seluruh lapisan masyarakat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Selain itu, Syafiq juga tidak menampik adanya berbagai tantangan yang tidak bisa dihindari oleh Muhammadiyah. Diantaranya masalah krusial tentang krisis ekonomi kontemporer dan masalah perbaikan mutu AUM, terutama bidang pendidikan dan kesehatan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">"Setelah Laskar Pelangi tayang, banyak pertanyaan muncul: masih adakah sekolah Muhammadiyah sekarang yang seperti dalam film itu?" ungkapnya. Sebuah tantangan yang tidak memerlukan jawaban lisan, tetapi harus dijawab dengan perbuatan, demi pencerdasan anak bangsa dari belenggu kebodohan.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"></span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Tepat pukul 17.20 wib, Syafiq mengakhiri pidatonya dan dilanjutkan dengan penyerahan kenang-kenangan dari PWM untuk ketiga pembicara. Pemimpin Umum/Redaksi Majalah MATAN, A. Fatichuddin menyerahkan bendelan MATAN selama setahun, yang sekaligus menjadi penutup acara yang singkat dan padat itu. <i>Taqaballahu minna wa minkum shiyaamana wa shiyamakum, kullu 'am wa antum bi khair min al-'aidin wa al-faizin.</i> <b>kholid</b></span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-51110808262257875872008-11-28T23:06:00.001-08:002009-03-22T05:27:52.628-07:00N A S I O N A L<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Din Syamsuddin Jadi Presiden ACRP <o:p></o:p></span></b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Pertemuan 18 negara Asia itu berlangsung di Manila selama lima hari (17-21 Oktober 2008). Di hari terakhir dalam sebuah rapat Governing Board, Din Syamsuddin ditunjuk secara aklamasi sebagai Presiden sekaligus Moderator Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) atau Konferensi Agama untuk Perdamaian se-Asia. Spontan saja, gemuruh suara tepuk tangan mengombak dari 400 peserta yang hadir. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Kali ini, perhelatan internasional itu diberi tema "Peacemaking in Asia". Dalam acara yang berlangsung dalam forum Assembly ke-7 di Manila tersebut, Din Syamsuddin tercatat sebagai orang pertama dari Indonesia yang menjadi Presiden ACRP sejak organisasi itu berdiri 32 tahun lalu. "Saya tentu senang dan juga bangga. Tapi saya juga prihatin membayangkan tantangan di depan yang berat," kata Din Syamsuddin, Rabu (22/10).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Dalam sambutannya usai pelantikan, Din mengatakan bahwa di kawasan Asia kini telah dihadapkan pada tantangan yang sangat besar dan berat. Tantangan itu terutama untuk mengantisipasi kebangkitan kawasan Asia Pasifik atau Asia Timur sebagai kawasan pertumbuhan masa depan. Itu sebabnya keberagamaan harus progresif agar dapat menjawab tantangan zaman.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Ia mengingatkan, umat beragama hendaknya tetap berorientasi kepada keimanan dan kesalehan tengahan, yang tidak terjebak pada dua titik ekstrim, radikal atau liberal. “Jalan tengah adalah alternatif sekaligus solusi untuk memecahkan problematika umat manusia,” tuturnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Selain Din, juga dipilih enam Presiden yang mewakili beberapa agama seperti Cina dengan agama Tao, Jepang dengan agama Buddha, Australia (Katolik) dan India (Hindu) serta Filipina-Indonesia (Islam). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Dr Zuly Qodir, peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada, menyambut positif terpilihnya tokoh yang dikenal sebagai aktivis perdamaian ini. "Saya punya harapan besar kepada Din. Saya kira sangat positif jika ia mampu membawa ACRP menuju kerukunan Asia," katanya. Menurut Zuly, Din dikenal sebagai tokoh dominan yang memiliki kemampuan lobi dengan latar belakang pemikiran yang moderat dan cenderung progresif. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Sebagai aktivis perdamaian dan interreligius, tokoh Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut memiliki kapasitas membawa isu-isu perdamaian dan penyelesaian problematika dunia Islam terkini. "Saya kira perlu ada yang mengimbangi dalam tim ataupun orang di dekatnya. Salah satu tantangan ke depan, bagaimana di tingkat Asia yang punya problema muslim militan yang lekat dengan terorisme bisa dikelola," kata Zuly, yang juga mengajar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tersebut. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Dunia Islam sekarang punya persoalan serius dengan beberapa masalah kemanusiaan global. Bagaimana membawa dialog perdamaian menjadi isu utama negara-negara di Asia. "Contoh soal kemiskinan di Indonesia, Pakistan dan India. Saya kira program ke depan tak sekedar soal sibuk membangun masjid dan bicara aturan sumbangan sosial," kata Zuly.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Di tempat berbeda, direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) Abdul Mu’ti juga berpendapat, sikap kalangan agama yang bisa menghargai semua golongan akan sangat berguna untuk mengembangkan peradaban. Sikap umat beragama yang ikut mencari solusi atas problem masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Misalnya, problem kemiskinan sering kali hanya menjadi polemik dan diperdebatkan tanpa ada langkah penyelesaian dalam bentuk kebijakan negara yang nyata. Kalangan umat beragama yang mempunyai tanggung jawab untuk ikut mengangkat harkat dan martabat manusia juga masih kurang memberikan solusi.</span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">”Ini tugas kita, apalagi masih banyak orang yang hidup dalam kondisi miskin. Lebih menyedihkan lagi, rakyat miskin dari segi ekonomi ini juga miskin akses terhadap perlindungan hukum,” ujarnya. <b>mz</b> <b>abidin</b></span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-15742026379738873272008-11-28T23:06:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.613-07:00DUNIA ISLAM<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);">Tentara Polandia itu Berjilbab<o:p></o:p></span></b><br /><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);">Namanya Sylvia Monika Wyszomirska. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);" lang="ES">Ia anggota pasukan perdamaian PBB yang sudah empat bulan bertugas di selatan Libanon. Selama bulan Ramadhan, Monika yang asli Polandia dan beragama Katolik itu memutuskan untuk mengenakan jilbab, selain mengenakan topi baret tentaranya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);" lang="ES">Perempuan berusia 37 tahun itu beralasan, selain rasa hormat, ia harus membaurkan diri dengan lingkungan tempatnya bekerja. "Sejak kontingen saya ditempatkan di negeri Muslim ini, saya memutuskan untuk mengenakan jilbab," kata ibu satu orang anak itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);">Monika memilih warna jilbab biru terang, mirip warna topi baret yang ia kenakan bersama 13000 pasukan UNIFIL (United Nations Interim Force in Libanon) lainnya. Dalam pasukan itu, Monika bertugas sebagai penerjemah bagi 200 pasukan Polandia yang tergabung dalam pasukan UNIFIL. Pekerjaan itu membuat ia sering berkomunikasi langsung dengan warga masyarakat di desa-desa di kawasan Marjayoun, Libanon.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);">Bagi Monika, Libanon bukan negara Muslim pertama yang pernah ia kunjungi. Sebelumnya, pernah ditugaskan ke <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Kuwait</st1:place></st1:country-region> dan Irak. Bahkan pernah juga ke Suriah untuk melancarkan bahasa Arab. "Ketika kuliah di jurusan bahasa-bahasa Timur Tengah di Universitas Jagiellonski (Polandia-red), saya juga belajar tentang tradisi, sejarah dan geografi negara-negara seperti Libanon, Irak, Suriah, dan <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Kuwait</st1:place></st1:country-region>," kata Monika.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);">Bagi Monika, keputusan untuk mengenakan jilbab telah banyak membantu dia dan semua kolega dalam kontingen Polandia untuk beradaptasi dengan warga lokal. "Yang bisa kami tawarkan adalah rasa hormat dan senyuman, karena kami bukan berasal dari negara kaya yang bisa memberikan bantuan materi buat orang-orang ini," kata Monika.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);">Sejak mengenakan jilbab, orang-orang bersikap hangat pada Monika dan rekan-rekannya. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);" lang="ES">Situasi ini membuka pintu dan kesempatan yang lebih besar untuk menjalin persahabatan. Mereka mulai mengundang Monika ke rumah untuk sekedar minum kopi atau makan manisan. Ketika Monika dan kawan-kawan melintas, anak-anak tersenyum dan melambaikan tangan. "Sekarang, saya merasa memiliki keluarga kedua di Debbine, Blat dan Arid," sambung Monika menyebut nama tiga desa di selatan Libanon.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);" lang="ES">Ia mengaku, berjilbab bukan karena dipaksa oleh siapapun. Tetapi murni dari hatinya. Atasan Monika tidak keberatan. Bahkan, ia diberi tugas tambahan dari atasannya agar menjelaskan tentang tradisi Ramadhan kepada kawan-kawannya di pasukan Polandia. <span style=""> </span>“Agar bisa menghormati tradisi itu dan menahan diri untuk tidak makan dan minum di muka umum,” jelas Monika menirukan tujuan atasannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);" lang="ES">Tapi tidak semua personel UNIFIL perempuan mau mengenakan jilbab. Seorang rekan Monika memuji langkahnya mengenakan jilbab, tapi ia sendiri tidak mau mengenakan. "Jilbab akan mengubah penampilan saya, dan itu bukan yang saya inginkan," kata perempuan itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);" lang="ES">Penampilan Monika dengan jilbab itu memunculkan kekaguman bagi masyarakat desa di selatan Libanon itu. "Saya kagum melihat Monika mengenakan jilbab, karena saya tahu dia bukan seorang Muslim," kata Zahraa Hijazi, seorang mahasiswi yang tinggal di desa Debbine.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);" lang="ES">Walikota Debbine, Muhammad Sharif Ibrahim, menilai positif apa yang dilakukan Monika, untuk menyingkirkan ‘tembok penghalang’ antara pasukan UNIFIL dengan warga lokal.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);" lang="ES"></span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: rgb(51, 51, 51);" lang="ES">Bagi Monika, menyesuaikan diri dengan komunitas mayoritas menjadi pilihan sebagai bagian dari kerjanya yang berbau kemanusiaan. Namun banyak perempuan Islam yang justru menyesuaikan diri dengan komunitas minoritas hanya agar bisa dilihat menarik oleh kaum minoritas. <b style="">fatichuddin, dari banyak sumber</b></span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-12416111544000052762008-11-28T23:04:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.447-07:00F E N O M E N A I<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="IN">Muhammadiyah Masih Punya Banyak ‘Bu Muslimah’<span style="font-style: italic;"><br /></span></span></b></p><p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHcWeIpzlS4ScQZs_R9iAnQ5ztUT5C4G0mSqW4NfiWSQ0j2diUqWSgczukx3FAueBR4wl4gqo2HEUq1j8jOPbvTr21r5cRwP_plJ2Tehk365ihv3DlYv6-AvPgDliTuupgKQmn1KbGAaxj/s1600-h/Copy+of+P1010029.JPG"><img style="cursor: pointer; width: 100px; height: 75px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHcWeIpzlS4ScQZs_R9iAnQ5ztUT5C4G0mSqW4NfiWSQ0j2diUqWSgczukx3FAueBR4wl4gqo2HEUq1j8jOPbvTr21r5cRwP_plJ2Tehk365ihv3DlYv6-AvPgDliTuupgKQmn1KbGAaxj/s400/Copy+of+P1010029.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5273972364985767010" border="0" /></a><b><span style="" lang="IN"><span style="font-style: italic;"></span><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><b><i><span style="" lang="IN">“Guru-guru Muhammadiyah adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya !” </span></i></b><b><span style="" lang="IN">Demikian pernyataan lantang Andrea Hirata dalam sambutannya setelah mendampingi Ibu Muslimah menerima penghargaan PP. Aisyiyah, 2007.<i> “Karena guru-guru Muhammadiyah adalah manusia- manusia paling pemberani di negeri ini,”<span style=""> </span></i>lanjut penulis novel <i>best seller</i> Laskar Pelangi itu.<o:p></o:p></span></b><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Barangkali ungkapan Andrea Hirata itu benar. Jika ingin mencari guru teladan, sudah pasti di Muhammadiyah. Sebab, Muhammadiyah sejak didirikan pada tahun 1912 <span style=""> </span>sudah menjadi ‘sarang’ para pejuang pendidikan yang konsisten di seluruh negeri. Namun, mungkinkah semua akan bertahan sampai kini, seiring gerusan sejarah kapitalisasi pendidikan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Fenomena Bu Muslimah dan Pak Harfan dalam film Laskar Pelangi - yang mengalami masa sulit ketika harus menjalankan tugas menjadi guru dan kepala sekolah di daerah terpencil - setidaknya mampu menjadi pemantik bagi kader guru Muhammadiyah untuk selalu menjalankan profesinya secara maksimal. Mengajar dengan hati, memberi dengan jati diri. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Potret perjalanan pendidik teladan ini sekarang sedang menghujamkan cambuk ke arah para pendidik di tengah glamoritas pendidikan negeri ini. Dan, mereka adalah guru Muhammadiyah. Di Persyarikatan bergambar matahari ini, masih banyak ditemukan figur teladan seorang guru. Di Kertosono, Nganjuk, misalnya, ada sosok Guru yang sampai sekarang begitu tulus mengajar dengan kehidupan amat sederhana. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Ditemui MATAN tiga pekan lalu, lelaki itu sepertinya masih tampak enerjik, meski gontaian langkahnya sekarang sudah tak setegap dulu. Di kanan-kirinya terdengar samar memantul suara canda renyah serombongan bocah-bocah menemani. Remang-remang lambaiannya menyibak buliran embun sawah yang pagi itu begitu tebal. Jam baru menunjuk pukul 05.30 wib, tapi lelaki tua itu sudah pulang dari jalan-jalan pagi. ”Biar nanti mengajar bisa bugar dan <i>fresh</i>,” sapanya pada MATAN yang menunggu di Panti Asuhan sejak 15 menit sebelumnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">M. Tauhid nama lelaki tua itu. Ia adalah seorang guru di perguruan Muhammadiyah yang mengajar dengan sepenuh hati selama 33 tahun. Sebuah potret seorang Guru yang sekarang nyaris punah di negeri ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Pria sederhana kelahiran Kediri 1944 ini memiliki perjalanan panjang dalam guratan peradaban antara Kertosono dan Kediri. Ia mulai memutuskan untuk menjadi pengajar, setelah ia benar-benar lulus dari IAIM (Institut Agama Islam Muhammadiyah) Kediri pada 1970. Begitu pun pengalamannya menjadi Muhammadiyah ikut memotivasi dirinya untuk terus berjuang di Persyarikatan. “Pada saat saya masuk di Muhammadiyah, saya dikejar-kejar dan dituduh PKI. Namun dengan begitu saya semakin yakin bahwa Muhammadiyah adalah wadah pencerahan,” kenangnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Ia lalu mendamparkan diri ke dunia pendidikan Muhammadiyah Kertosono. Pada 1975, ia mulai mengajar di SMPM Kertosono. Ia mengajar dengan hati. Tegas dan disegani. Ia kemudian diangkat menjadi Kepala Sekolah SMPM Kertosono tahun 1976-1992. Barulah pada tahun 1992 sampai sekarang ia menjadi guru biasa di tiga sekolah: SMPM, SMAM, SMEAM dan menjadi pembina Panti Asuhan Kertosono. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Kehadirannya di tiga sekolah Muhammadiyah ini menjadi cemeti bagi para siswa dalam penerapan akhlak dan syariat Islam. “ Pak Tauhid sangat ketat dalam pengajaran pengamalan syariat dan sopan santun,” tutur Kholiq, guru SMEAM Kertosono.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Ia guru paling aktif dan selalu datang paling pagi. Dengan motor butut kesayangannya, Yamaha 1975, ia tapaki jalan dari rumah ke sekolah. Tak heran bila ia meraih penghargaan guru teladan seperempat abad dari Majelis Dikdasmen PP. Muhammadiyah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Penghargaan itu malah menjadi cambuk untuk semakin khidmat di dunia pendidikan. Ia bersama istrinya, Rismiati, malah meninggalkan rumahnya di kawasan Purwosari, Kediri, dan memilih bersemayam di Panti Asuhan Kertosono. Sosok Rismiati memang pasangan yang serasi di mata lelaki ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Tak beda dengan suaminya, Rismiati juga seorang guru TK Aisiyah Bustanul Athfal (ABA) Kertosono. Sementara kelima anak mereka menempati rumah Purwosari, bersama istri dan suami masing-masing. Rismiati dan Tauhid telah ‘mewakafkan diri’ untuk perjuangan di jalan Allah melalui Muhammadiyah dengan membimbing 9 generasi bangsa yang kurang beruntung di panti.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Semua berawal dari hati. Tauhid sangat bahagia setiap hari menemani jalan pagi, menyiapkan sarapan, menyiapkan seragam, dan mengajari ngaji 9 anak panti yang sudah menganggapnya sebagai ayah sendiri. Tak ada kata mengeluh. Meski gajinya di tiga sekolah itu hanya Rp 500.000 perbulan, ia dan istrinya masih sempat menyisihkan 100 ribu untuk menabung. Tahun ini tabungannya sudah terkumpul 5 juta. “Gaji saya dari sekolah menurut saya sudah banyak, buktinya saya sudah bisa menabung,” tuturnya bersyukur.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"></span><span style="" lang="IN">Itu baru di secuil daerah dari bentangan wilayah yang tergelar dari Sabang sampai Merauke. Di Nganjuk ada Tauhid dan Rismiati. Di Gresik ada Badroen dan Munfatichah. Dan masih banyak lagi yang tersebar di daerah-daerah lain. Semangat mereka bagai semangat Bu Muslimah, guru SD Muhammadiyah Gantong. <b>mz abidin</b></span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-69685904628184255502008-11-28T23:03:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.658-07:00F E N O M E N A II<p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Beramal Hingga Akhir Hayat <o:p></o:p></span></b></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Sejak pagi, puluhan dhuafa’ berkumpul di sekretariat Himpunan Janda Muslimah ( HJM) Ponorogo. Mereka ingin mendapatkan paket sembako gratis yang akan dibagikan oleh para janda yang ditinggal mati suaminya. Mereka tidak harus berdesak-desakan, apalagi bertaruh nyawa. Mereka duduk manis di bangku panjang yang sudah disediakan panitia, sembari membawa kupon yang telah dibagikan sebelumnya. <o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">“Saya antri sejak pagi. Ingin ambil sembako. Lumayan buat lebaran,” kata seorang nenek berusia 70 tahun, Mistini. Tidak hanya satu paket sembako gratis yang dibawa pulang. Nenek yang rambutnya sudah memutih itu harus membawa ‘beban’ dua paket lainnya titipan dari tetangganya. Dengan susah payah, tiga paket sembako dalam tas kresek putih itu dimasukkan dalam kantung bekas pembungkus terigu, lalu digendong pulang dengan kain panjang. <o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">HJM resmi dibentuk pada pada 25 Agustus 1985. Keinginan untuk berbagi terhadap sesama dan mengisi kegiatan positif ini, diawali dari banyaknya para janda yang ditinggal mati suami dan memutuskan tidak ingin menikah lagi. Kegiatan bagi sembako ini telah mendapat respons dari pemerintah dan PP <span class="yshortcuts">Muhammadiyah</span>. Bahkan, kini HJM di bawah pembinaan langsung Ketua PP Muhamamdiyah, Din Syamsuddin. Menteri Peranan Wanita waktu itu, Mien Sugandi, pernah juga mengunjungi HJM.<o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">“Kegiatan bagi sembako ini sudah yang ke-13 kali. Dari tahun ke tahun, jumlah barang dan donaturnya terus bertambah,” kata ketua HJM Ponorogo, Hj. Reni Baidowi. Kalau tahun pertama hanya terkumpul 500 paket, maka tahun ini sudah mampu menyediakan 1.750 paket. Paket-paket itu juga didistribusikan untuk para dhua’fa dan yatim piatu di 17 dari 21 kecamatan di Ponorogo. <o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Rasa ingin berbagi dengan sesama ini, menurut Reni, didasari al-Quran surat al-Maun. Sebagai janda yang ditinggal mati suami, tidak pantas berkutat diri dalam kesedihan berlarut-larut. Tali silaturahmi, do’a kepada almarhum suami, tetap bisa dirajut dengan menyelenggarakan amal sosial untuk si miskin dan si yatim. Apalagi sebagian besar anggota HJM merupakan para janda yang aktif di organisasi Muhammadiyah. <o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><span style=""> </span>“Bagi saya, Insya Allah kegiatan ini saya lakukan sampai akhir hayat,” tegas Reni, wanita yang tetap enerjik di usianya yang hampir 70 th.</span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"></span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Meski demikian, bukan berarti para anggotanya dilarang menikah lagi. Terlebih yang masih muda-muda. Bahkan untuk urusan yang satu ini, HJM selalu memberi peluang anggotanya untuk membina keluarga baru. Hanya saja, bila menikah lagi, keanggotaan HJM otomatis gugur. Tapi, tali silaturahmi tetap terjaga karena para mantan anggota HJM ini tetap menjadi donatur yang setia. <b>noor ainie</b></span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-69937894973257629282008-11-28T22:08:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.428-07:00WAWASAN BISNIS<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="IN">Dua Puluh Tahun Untuk Si Cumlaude</span></b></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Oleh: Iman Supriyono<br />Strategic Funance Specialist pada SNF Consulting Surabaya</p><br /><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAjfNAU1ulrEvTLo7Ugo-qkHcQYqwpwGTpGOJu4E612Kb5HGMI_5MAa5sfzZ6qRUm_sEMrsZp3q21IXkehDfQrzBykIrY5jsDcq6JXnD6Ie0r10iejqCX4nurmONruGBiLcOuAKrpQeL19/s1600-h/cumloude.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 100px; height: 108px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAjfNAU1ulrEvTLo7Ugo-qkHcQYqwpwGTpGOJu4E612Kb5HGMI_5MAa5sfzZ6qRUm_sEMrsZp3q21IXkehDfQrzBykIrY5jsDcq6JXnD6Ie0r10iejqCX4nurmONruGBiLcOuAKrpQeL19/s320/cumloude.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5273957709227412130" border="0" /></a></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Dua pekan lalu saya hadir pada acara peluncuran sebuah buku: Mission Ini Possible. Itulah<span style=""> </span>judul buku yang menjadi ‘pemeran utama’. Sebuah buku yang lahir dari pengalaman malang melintang pribadi penulisnya, Misbahul Huda, dalam bisnis percetakan nasional.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Bukan seperti peluncuran buku pada umumnya. Kali ini benar-benar dikemas serius. Disiarkan oleh JTV. Penuh hiburan. Tidak kurang dari dalang wayang suket Slamet Gundono. Dalang humoris yang tiap minggu mengisi kolom wayang di Jawa Pos dengan nama pena Slametg.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Saya diundang dengan sebuah tugas sederhana: mengajukan pertanyaan. Sebagaimana layaknya peluncuran buku, tentu acara ini juga ada sesi diskusi. Tanya jawab seputar isi buku. Karena kemasan acaranya didesain penuh daya tarik, maka pertanyaannya pun wajib menarik.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Sebuah permintaan yang menyenangkan. Memang, setiap ikut diskusi, seminar, atau forum apapun, saya selalu mewajibkan diri untuk mengajukan pertanyaan menarik. Pertanyaan yang memacu kreasi penjawab. Pertanyaan yang menjadikan forum lebih hidup. Saat di bangku sekolah pun, saya pegang kuat-kuat sebuah prinsip. Seorang guru atau dosen tidak akan saya biarkan berlalu dari depan kelas kecuali sudah saya beri sebuah pertanyaan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Setalah Pak Huda memaparkan bukunya, saya pun mencari-cari ide. Apa kira-kira pertanyaan yang menarik. Munculah sebuah gagasan. Selama acara terungkap bahwa si penulis yang mengundang saya adalah sarjana elektro UGM yang lulus dengan predikat cumlaude. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Menariknya, ia selalu menekankan tentang proses pembelajarannya yang panjang. Belajar pada seorang guru sekaligus Sang Bos: Dahlan Iskan. Belajar mulai dari nol dua puluh tahun lalu hingga menjadi direktur utama PT Temprina Media Grafika dan PT Adiprima. Masing-masing adalah perusahaan percetakan dan produsen kertas grup Jawa Pos berasset bilangan Trilyun dengan ribuan karyawan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Dua puluh tahun? Ya. Apa hasilnya? Pak Huda menyatakan bahwa ia pun baru berani memberi angka 95 untuk prestasinya. Belum 100. Inilah sebuah kontradiksi menarik. Seorang cumlaude teknik elektro dari perguruan tinggi besar paling senior di tanah air membutuhkan waktu 20 tahun untuk menangkap pelajaran dari gurunya. Pertanyaannya: siapa yang ‘goblok’, gurunya apa muridnya?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Karena kebetulan Sang Guru juga hadir sebagai pembahas, pertanyaan ini dijawab sekaligus oleh keduanya. Guru-murid yang sama-sama maniak pecel Madiun. Jawabanya juga sangat menarik. Si murid menjawab bahwa begitulah perbedaan antara belajar teori (di kampus) dan belajar praktek (membangun perusahaan dari nol hingga berkelas nasional). Belajar teori cepat, belajar praktek tentu jauh lebih lambat. Sang Guru menjawab bahwa dirinyalah yang ‘goblok’. Ia mendidik tak terstruktur. Mendidik tanpa metode seperti yang diajarkan di Fakultas Pendidikan.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"></span><span style="" lang="IN">Pembaca yang antusias, beginilah memang proses membesarkan sebuah perusahaan. Butuh waktu lama. Bahkan lama sekali. Nestle butuh waktu 142 tahun untuk menyajikan Dancow, Nescafe, Carnation, Susu Cap Nona, dan lain-lain seperti yang bisa Anda nikmati saat ini. Gerhard Philips</span><!--[if supportFields]><span lang="IN" style="'mso-bidi-;font-family:font-size:12.0pt;font-size:11.0pt;"><span style="'mso-element:field-begin'"></span> XE "Gerhard Philips" </span><![endif]--><!--[if supportFields]><span lang="IN" style="'mso-bidi-;font-family:font-size:12.0pt;font-size:11.0pt;"><span style="'mso-element:field-end'"></span></span><![endif]--><span style="" lang="IN"><span style=""> </span>butuh waktu 118 tahun untuk bisa memenuhi kebutuhan aneka lampu listrik bagi warga seluruh dunia sejak merintis usahanya pada<span style=""> </span>1891 di Eindhoven, Belanda. Liem Seeng Tee</span><!--[if supportFields]><span lang="IN" style="';font-size:11.0pt;"><span style="'mso-element:"></span> XE "Liem Seeng Tee" </span><![endif]--><!--[if supportFields]><span lang="IN" style="'mso-bidi-;font-family:font-size:12.0pt;font-size:11.0pt;"><span style="'mso-element:field-end'"></span></span><![endif]--><span style="" lang="IN"><span style=""> </span>butuh waktu 95 tahun untuk menyajikan Djie Sam Soe dan A Mild sejak merintisnya di Surabaya pada tahun 1913. Berpuluh-puluh tahun dan bahkan ratusan tahun dengan ketekunan dan fokus luar biasa. Anda sudah fokus? Anda sudah berapa tahun?</span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-11275257305876904972008-11-28T22:06:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.360-07:00S E M I N A R<div style="text-align: center;"><b><span style="" lang="IN">Bisnis ‘Sunnatullah’ di Tengah Krisis</span></b></div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqrcIYXvmBz_qRS7PCe0ZlbOgSLwch_6tWL7cmtODDJ94RQ79q-lXZQvPoHtBlZLBI9QUJgRsJJgb0Gbg1YJ8jj-xsm34DBhCs5hSyBPTbmhQnnhD7r702t7MVBCCDvXozePAEwH7Kp7ui/s1600-h/Ekonomi+Seminar.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 129px; height: 96px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqrcIYXvmBz_qRS7PCe0ZlbOgSLwch_6tWL7cmtODDJ94RQ79q-lXZQvPoHtBlZLBI9QUJgRsJJgb0Gbg1YJ8jj-xsm34DBhCs5hSyBPTbmhQnnhD7r702t7MVBCCDvXozePAEwH7Kp7ui/s320/Ekonomi+Seminar.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5273957151587509570" border="0" /></a><b><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Kalau mau sukses, jadilah pebisnis yang berbasis ‘sunnatullah’. Yaitu, bekerja keras, berkeringat, mengawal produksi, meneliti angka-angka, mengawal distribusi, dan sebagainya. Bukan menderivat, bermain dalam <i>virtual</i> bisnis (bisnis samar). Guncangan moneter dunia saat ini disebabkan oleh bisnis derivat, bisnis yang tidak memperjual belikan barang, melainkan hanya kertas, bahkan angka-angka. Uang bukan lagi menjadi alat tukar, tetapi lebih sebagai komoditas. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Begitulah lontaran Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos, dalam seminar bisnis bertema “Strategi Bisnis Menghadapi Krisis Keuangan Dunia yang Tidak Menentu”, yang diselenggarakan Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PWM Jatim, di Aula Mas Mansur, Gedung PWM Jatim, pekan lalu. Dipandu M. Najikh, Dahlan secara cerdas memberi alternatif solusi atas kepanikan pebisnis dalam menghadapi krisis global ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Dahlan menjadi pembicara terakhir dan atraktif. Sebelumnya, Kresnayana Yahya dan Tjiptono Darmaji bicara tentang tantangan perekonomian Jatim menghadapi krisis keuangan global. Kresnayana menyarankan untuk meningkatkan kewaspadaan para pengusaha dalam menghadapi biaya produksi yang meninggi di tengah daya beli masyarakat yang menurun. Sedang Tjiptono menjelaskan permasalahan ekonomi perbankan yang mengalami ketidakstabilan.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Di hadapan sekitar 300 peserta yang terdiri para pebisnis, Dahlan mengingatkan, menghadapi krisis seperti sekarang hendaknya tidak terperosok dalam pikiran saling curiga, apalagi menyalahkan kelompok lain atas nama agama. Krisis ini harus disikapi dengan nalar bisnis yang cerdas. “Krisis ini tidak ada hubungannya dengan kesalahan bank konvensional, atau sebaliknya kebenaran bank syari’ah,” tambahnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Memang, krisis saat ini diawali dari AS. Tetapi bukan berarti bahwa AS segera runtuh. “Krisis ini hanya akan merubah posisi Amerika dari kaya raya menjadi kaya sekali,” tuturnya yang membuat peserta tercengang. Karena itu Dahlan mengajak pebisnis untuk tidak melihat bagaimana AS, tetapi lebih banyak melihat ke dalam, sebagai upaya memperkuat posisi bisnis dalam segala kondisi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Ia kemudian banyak menyontohkan perjalanan dirinya dan sejumlah pebisnis lain dalam membangun bisnis. Menurutnya, bisnis ‘sunnatullah’ terbukti sangat ampuh dan jauh lebih tahan banting dalam menghadapi berbagai guncangan ekonomi. Sementara bisnis derivatif, atau bisnis <i>virtual</i>, justru lebih banyak menjadi sumber malapetaka ekonomi. Ia kemudian menyontohkan bisnis derivasi minyak. Seseorang membeli satu juta barel minyak, lalu dijual ke orang lain. Pembeli kedua menjual pada pembeli ketiga. Demikian seterusnya, sampai transaksi itu mencapai puluhan bahkan ratusan kali. Padahal minyaknya hanya satu juta barel. Maka yang terjadi dalam transaksi itu bukanlah minyak riil, melainkan hanya lembaran-lembaran kertas, atau bahkan hanya angka-angka. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Itu sebabnya Dahlan menyebut bisnis yang demikian adalah serakah. “Sepanjang sejarah terbukti bahwa setiap keserakahan akan mengalami kehancuran. Maka mari kita bisnis yang wajar-wajar saja, bisnis berdasar ‘sunnatullah’. Mari kita bekerja seperti biasa, tetap semangat, dan tidak usah terlalu memikirkan krisis ini,” katanya.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"></span><span style="" lang="IN">Satu lagi resep dari Dahlan bagi pebisnis menghadapi krisis ini. “Umpama main layang-layang, tatap terus layang-layang itu, dan jangan sekali-kali ditinggal ke toilet,” kiasnya. Artinya, jangan sedikit pun lengah dalam mengawal bisnis. Dan ia memperkirakan, krisis ini berlangsung sekitar dua tahun. <b>abidin</b></span></p>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-87280482746324107062008-11-28T22:04:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.695-07:00W A W A N C A R A<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Aminuddin Kasdi</span><br /><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Sejarah Adalah Penanda Zaman<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Perjalanan hidup sebuah bangsa dapat dilihat dari sejarahnya. Sejarah adalah aset bangsa untuk melihat perjuangan dan kegigihan pejuang zaman dahulu. Sejarah adalah anak zaman, sejarah adalah pertanda, ciri atau cermin dari sebuah zaman. Namun, sejarah seringkali juga menjadi komoditas politik untuk melambungkan nama dan kekuasaan pihak-pihak tertentu. Sehingga sangat mungkin sejarah Indonesia misalnya, mulai masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, akan berbeda dalam mengeksplorasi sebuah peristiwa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Bagaimana sejarawan menyikapi penulisan sejarah yang bervariatif? Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jatim, <b>Prof Dr Aminuddin Kasdi, </b><span style="">menyatakan sebuah peristiwa </span>penting tentu akan meninggalkan saksi, rekaman, tulisan, pengabadian, foto dan tempat kejadian. Untuk mengetahui pandangannya, wartawan MATAN <b>Riza Fachruddin</b> mewawancarai penulis buku Kaum Merah Menjarah (2001) itu di kediamannya, Jl. Tenggilis Utara I/41 Surabaya, dua pekan lalu. Berikut petikan wawancaranya:<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Bagaimana pendapat Anda tentang pandangan sebagian kalangan mengenai adanya ‘penyelewengan’ penulisan sejarah di Indonesia?</span></b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Perlu diketahui, sejak teks sejarah itu dituliskan pasti memiliki beberapa visi dan bermacam sudut pandang. Tidak heran jika dalam setiap negara pasti memiliki versi sejarahnya sendiri. Sebab, pada setiap rezim yang memimpin sebuah negara pasti ingin menancapkan ideologinya untuk kepentingan rezim tersebut. Hal ini pernah disindir oleh pemikir Perancis, Louis Althusser, dalam bukunya tentang <i style="">Ideological State Apparatuses.</i><span style=""> Bahwa sejarah adalah salah satu alat penyebaran ideologi kekuasaan</span>. Jadi sangat mungkin sejarah Indonesia dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, akan berbeda dalam mengeksplorasi sebuah peristiwa karena visi pemerintahannya memang berbeda.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Lalu bagaimana dengan pola penulisan sejarah di negara kita. Apakah penulisan sejarah yang sesuai visi itu tidak malah menjadi <i style="">debatable</i>?<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Orang Barat itu bisa dikatakan lebih konsisten daripada orang Indonesia. Sebab, jika ada perbedaan pendapat dalam suatu persoalan, maka dibentuklah suatu forum untuk memperbincangkan dalam upaya mencari titik fokus yang sama. Tetapi kalau tidak dapat diperbincangkan, maka tidak ada larangan bagi pemerintah maupun oposisi untuk menulis sejarah sesuai dengan visi masing-masing.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Bagaimana dengan adanya penenggelaman beberapa tokoh dalam penulisan sejarah. Apakah ada metode tersendiri dalam mengungkap peristiwa itu?<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Dalam metode penulisan sejarah, memang tidak bisa dilepaskan dari hukum kausalitas. Karena itu, perlu adanya pembeberan tentang latar belakang dan sebab-akibat sebuah peristiwa secara detail. Dan sudah menjadi keniscayaan sejarah bahwa setiap peristiwa pasti mempunyai sebab-musabab. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Selanjutnya, keyakinan seorang sejarawan dalam mempelajari ilmu sejarah dan menuliskannya sangat tergantung dengan sumber sejarah. Karena peristiwa sejarah adalah peristiwa penting, maka saat peristiwa itu terjadi pasti tidak hanya dilakukan dan diketahui secara personal. Tetapi pasti disaksikan oleh orang yang namanya saksi sejarah dan rekaman sebagai data yang bisa ditulis. Dua data orisinil itulah yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Selain dua data itu, terdapat pembuat kebijakan, dan di sinilah perlu dicari siapa pembuat kebijakan pada waktu itu. Pembuat kebijakan itu bisa saja organisasi atau lembaga yang mengeluarkan statemen pada saat peristiwa tersebut terjadi. Kalau peristiwa dianggap penting, maka pasti ada orang yang menyaksikannya, ada rekaman, tulisan, pengabadian, foto dan tempat kejadiannya. Jadi, yang terpenting adalah sumber-sumber sejarahnya bisa dipertanggungjawabkan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Apa saja sumber sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan?<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Sumber sejarah setidaknya ada tiga macam. <i style="">Pertama,</i> kalau sejarah itu tidak dilakukan sendiri, maka ada sumber lisan <i style="">(<span style="">oral history).</span></i> Tetapi perlu diketahui, pelaku sejarah umumnya tidak netral. Ada bias karena berat sebelah secara pribadi. Kalau kebetulan yang ditanyakan ada kepentingan dengan dirinya, maka biasanya akan ditonjolkan yang baik-baik saja. Tetapi kalau yang dipersoalkan adalah orang yang memusuhinya, maka biasanya akan dijelek-jelekkan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><i style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Kedua,</span></i><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"> setiap orang pasti mempunyai dasar filsafat dan ketergantungan terhadap disiplin ilmu yang diperolehnya. Dua komponen ini membuat seseorang mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat sejarah, meski dalam peristiwa yang sama. Seperti menurut orang Marxis misalnya, mereka mengatakan orang kaya adalah penghisap orang miskin, dan seterusnya. Itulah yang disebut dengan <i>pseudo sains, </i>meski kejadiannya tidak seperti itu<i>.<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><i><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Ketiga, </span></i><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">sumber visual, yaitu benda-benda yang dulunya dipakai para pelaku sejarah. Sumber terotentik dan terorisinil yang paling dicari para sejarawan adalah sumber tulisan. Sebab, sumber ini tidak akan berubah, meskipun telah bertahun-tahun lamanya. Lain halnya dengan sumber lisan, ia bisa berubah-rubah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: red;" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Bagaimana pandangan Anda tentang sejarah yang dipelintir?<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Kalau dikatakan dipelintir itu tidak. Justru orang yang mengatakan dipelintir itu biasanya adalah mereka yang tidak mendapat tempat dan merasa dirugikan. Misalnya orang-orang yang pada masa Orde Baru tidak mendapat tempat dan orang-orang PKI yang tahun 1965 ditumpas dan mereka merasa menjadi korban.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: red;" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD"; color: black;" lang="IN">Jika terdapat sumber sejarah lain yang berlawanan?<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Yang pasti akan dikonfrontir. Sudah tentu ada kaidah untuk menelusurinya, yaitu dengan membandingkan satu sumber dengan sumber lainnya. Karena itu, jika ada sumber lisan dan tertulis lain yang berbeda, maka akan dilakukan pencocokan dengan sumber-sumber lain. Jika memang tidak ada kecocokan, barulah dicari latar belakang perbedaannya. Dengan demikian, tidak ada yang namanya sejarah itu disalahgunakan, tetapi yang terjadi mungkin ada data yang kurang kuat saja.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Bagaimana dengan motif politik yang terjadi dalam pembukuan sejarah?<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Semua itu pasti ada motif politiknya. Politik itu <i style="">kan </i>namanya kebijakan. Jadi yang ditulis hanyalah apa dipandang perlu oleh pemerintah berdasarkan masukan dari para ahli. Misalnya saja, dulu ada penulisan sejarah pemberontakan PKI di buku sekolah, tetapi dalam kurikulum 2004 dihapuskan. Kemudian diprotes dan diingatkan oleh para pelaku sejarah, karena peristiwa G 30 S/PKI bukan buatan Soeharto tapi itu memang merupakan proses perkembangan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Misalnya juga tentang peristiwa PKI di Madiun. Peristiwa ini dulu tidak dimasukkan dalam sejarah. Namun, setelah diajukan dan diseminarkan oleh pihak-pihak yang berkompeten, akhirnya dimasukkan dalam buku sejarah. Artinya, penulisan sejarah yang ditulis setelah melalui rangkaian pengajuan dan pendiskusian yang matang akan semakin menyempurnakan otentitasnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Tapi jika orang itu menulis sejarah yang keliru?<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Yang memutuskan kelayakan sejarah adalah masyarakat. Jadi, sejarah tidak bisa diluruskan. Biarlah peristiwa sejarah berjalan seperti apa adanya. Bahwa sejarah atau <i>historiografi</i> merupakan anak zaman, sejarah adalah pertanda, ciri atau cermin dari sebuah zaman. Zaman Bung Karno, Orde Baru, atau Reformasi misalnya, tentu mempunyai ciri berbeda. Namun, kalau ada orang yang ingin menulis dengan versi yang berbeda, tentu juga diperbolehkan. <span style="color: red;"><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Kalau ada anggapan terjadinya pemutarbalikan fakta, biasanya muncul karena seorang penulis menuangkan sejarahnya dengan sisi yang berbeda. Misalnya saja, sudut pandang sejarah Isa Anshori tentu akan berbeda dengan DN Aidit. Perbedaan itu tentu tidak bisa disamakan karena mempunyai ideologi dan kepentingan yang berbeda.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Bagaimana cara meminimalisir perbedaaan dalam penulisan sejarah?<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Membuat jawaban, tanggapan atau <i style="">counter</i> berdasar sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya. Dan, sekarang ini keinginan masyarakat untuk memperoleh sejarah yang kredibel diberi kesempatan yang luas. Sebab, semua orang bisa meneliti berbagai sumber sebuah sejarah tanpa larangan.<o:p></o:p></span></p> <span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Kalaupun ada sejarah yang ditulis pemerintah tidak sesuai dengan fakta, itu terjadi karena ada pihak-pihak yang menungganginya. Jadi, saya kira pemerintah tidak pernah menyelewengkan sejarah karena semuanya memang disesuaikan dengan visi dan misi masing-masing.</span>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-557224689406083090.post-44150085886860560572008-11-28T20:45:00.000-08:002009-03-22T05:27:52.714-07:00B U K U<div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Judul Buku<span style=""> </span>: <b style="">Api Pembaharuan Kiai Ahmad Dahlan</b><br />Penulis<span style=""> </span>: Robert W. Hefner, Sukidi Mulyadi, Abdul Munir Mulkhan<br />Penerbit<span style=""> </span>: Multi Pressindo Yogyakarta<br />Cetakan<span style=""> </span>: Pertama, Maret 2008<br />Tebal<span style=""> </span>: viii + 150 halaman<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><br /></span></b></p><p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Menghadang Ancaman Ideologi Lain<o:p></o:p></span></b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Tidaklah berlebihan bila Robert W Hefner - seorang Indonesianis kelahiran Columbus, Ohio (Amerika Serikat) - menaruh kekaguman yang luar biasa terhadap pendiri Muhammadiyah, KHA Dahlan. Dalam pengakuan Hefner, KHA Dahlan merupakan sosok pembaharu Islam dan penggagas luar biasa di Indonesia. Bahkan pengaruh gelombang pemikirannya melampaui batas puncak pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir. Dan kini, Muhammadiyah merupakan gerakan ‘pembaharuan’ Islam terbesar di dunia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Ungkapan Hefner memang logis. Muhammad Abduh - dalam sejarah dicatat sebagai inspirator KHA Dahlan dalam memperbaiki Islam di Indonesia pada awal abad 20 - ternyata gagal menembus benteng tradisional-konservatif institut di negaranya (Universitas Al-Azhar, Kairo), meski pemikirannya mampu menempatkan dirinya sebagai salah satu pembaharu Islam dunia. Sebaliknya, Dahlan justru mampu melahirkan karya besarnya yang terus bertahan dan berkembang hingga sekarang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Hanya saja, lahirnya gerakan Reformasi tahun 1998 - yang notabene dimotori pula oleh tokoh Muhammadiyah, Amien Rais - sedikit banyak membawa pengaruh yang kurang menguntungkan bagi Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah mampu menarik syahwat kelompok-kelompok ‘ideologi’ lain untuk memiliki Muhammadiyah. Terlebih kalau dihitung secara politis, Muhammadiyah yang telah memiliki kekayaan amal usaha dan massa cukup besar ini dipandang sebagai obyek sangat menguntungkan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Fakta empiris terkait dengan dugaan Gerakan Muhammadiyah telah tercemari oleh ‘ideologi’ lain tersebut terlihat dari fenomena saling berebut pengaruh dalam organisasi ini. <i style="">Pertama,</i> sebut saja kaum konservatif yang dengan keras menolak pemikiran yang datang dari Barat, bahkan istilah-istilah dan kerjasama dengan lembaga berbau Barat. <i>K</i><i style="">edua,</i> sebut saja kaum liberal yang memandang perlu terus dilakukan penafsiran ulang terhadap al-Qur’an dan Sunnah karena penafsiran serupa juga dilakukan Kiai Dahlan yang daripadanya mendasari gerak Muhammadiyah di awal berdirinya (hal. v).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Berangkat dari indikasi adanya usaha untuk saling berebut pengaruh itulah, 2 orang kader progresif Muhammadiyah - Sukidi Mulyadi dan Abdul Munir Mulkhan - berusaha keras untuk menemukan simpul pemikiran KHA Dahlan. Tujuannya agar Persyarikatan Muhammadiyah tidak menjadi obyek tarik menarik ‘ideologi’ asing (konservatif dan atau liberalis) tersebut. Sebaliknya, kehadiran buku ini, paling tidak, menjadi penyadar bagi kader Muhammadiyah untuk tetap bisa menjaga agar Muhammadiyah tetap hidup sebagai gerakan Islam yang bercorak pembaharu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Diakui atau tidak, akhir-akhir ini banyak kader yang dulu dibesarkan oleh Muhammadiyah justru ‘durhaka’ dan memusuhi Muhammadiyah. Bahkan ada sebagian mereka yang kemudian merasa telah sekian lama berada dalam kesesatan karena telah menjadi orang Muhammadiyah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Buku ini tidak sekedar mengajak melakukan ‘napak tilas’ pikiran-pikiran KHA Dahlan, tetapi juga meluruskan pandangan-pandangan yang sesat tentang Muhammadiyah. Misalnya, pandangan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Wahabisme. Satu hal penting yang terangkum dalam buku ini ialah bahwa nalar Muhammadiyah harus dibedakan dari tradisi intelektual Islam yang hingga kini masih belum keluar dari skolastisisme dan kesadaran Sunni yang meniadakan kebebasan kreatif manusia. <o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Maiandra GD";" lang="IN">Akhirnya, tidak ada alasan lain untuk bisa disebut sebagai kader Muhammadiyah kecuali mau memahami kembali gagasan autentik KHA Dahlan yang bersumber dari kesadaran Islamnya yang sangat menekankan etika welas asih. Karena dengan etika welas asih itulah, Muhammadiyah tampak lebih bersikap terbuka pada modernitas dan kemanusiaan serta pemihakan terhadap kaum lemah (proletar). <b>Fatiananda</b></span></div>redaksihttp://www.blogger.com/profile/14210472146882708827noreply@blogger.com0