Penerbit: PWM Jawa Timur. ISSN: 1907-6290.

Penasihat Ahli: Syafiq A. Mughni, Nur Cholis Huda, Mu'ammal Hamidy, Muhadjir Effendy.

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: A. Fatichuddin.

Redaktur Pelaksana: Muh Kholid AS.

Pemimpin Perusahaan: Nadjib Hamid.

Wakil Pemimpin Perusahaan: Tamhid Masyhudi.

Dewan Redaksi: A. Fatichuddin, Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, Ahmad Nur Fuad,

Agus Weha, Abd. Sidiq Notonegoro, Agus Setiawan.

Staf Redaksi: MZ Abidin, M. Adnan, Noor Ainie.

Fotografer: Ilok. Ilustrasi: Setia Hati.

Tata Letak: Nabila.

Sekretaris: Anifatul Asfiyah.

Alamat Redaksi: Jl. Kertomenanggal IV/1 Surabaya 60234, Phone : 031 - 8471412, Fax : 031 - 8420848, Email : matan_pwm@yahoo.com

Jumat, 28 November 2008

F O K U S II

MUASAL PERANG DI TANAH PAHLAWAN

Belanda ngotot menjajah kembali Indonesia, setelah Jepang jatuh. Rakyat Indonesia menolak. Perang dahsyat meletus di Tanah Pahlawan, Surabaya.

Enam puluh tiga tahun tahun silam, ‘kebonekan’ rakyat Surabaya dan sekitarnya menjadi inspirasi bagi negeri ini untuk mempertahankan kedaulatan RI melalui pertempuran 10 November 1945. Sebuah peristiwa yang sulit dibedakan, sebagai tindakan berani atau bodoh. Bayangkan saja, hanya bersenjatakan hasil rampasan dan bambu runcing mereka menghadang pasukan pemenang Perang Dunia II yang bersenjata lengkap dan modern. Heroisme ‘model’ bonek inilah yang sampai sekarang diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Menurut Ketua Umum Putera Surabaya (PUSURA), Kadaruslan, ada tiga peristiwa besar yang melatarbelakangi revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu. Tiga peristiwa itu terjadi dalam waktu 4 bulan berturut-turut: Proklamasi RI 17 Agustus ‘45 di Jakarta, pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 5 Oktober ‘45 di Yogyakarta, dan peristiwa 10 November ‘45 di Surabaya. “Sepuluh November adalah puncak revolusi kemerdekaan Indonesia dengan munculnya perang rakyat terbesar sepanjang perang melawan Sekutu,” tegasnya.

Pertempuran itu tidak lepas dari kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Bom atom yang dijatuhkan Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 membuat Jepang lunglai, hingga menyerah kalah tanpa syarat pada 15 Agustus 1945. Dalam situasi power vacum di Hindia Belanda inilah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus. Maka, sejak itu muncul berbagai gerakan rakyat untuk melucuti senjata pasukan Jepang.

Ketika gerakan pelucutan itu sedang berlangsung, pada 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta. Tentara ini didatangkan ke Indonesia berdasarkan keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas melucuti senjata tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, dan memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun, kehadiran tentara Inggris ternyata diboncengi oleh Belanda untuk menjajah kembali Indonesia dengan dilibatkannya Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dalam pelucutan.

Kenyataan ini meledakkan kemarahan rakyat Indonesia, tidak kecuali di Surabaya, dan bersiap melawan Inggris. Menurut sejarawan Prof Aminuddin Kasdi, sebelum peristiwa 10 November, di Surabaya telah mengindikasikan akan terjadi pertempuran besar. Pada 21 Agustus ’45, Polisi Istimewa (Brimob) yang terbilang mempunyai senjata lengkap dan dipimpin Kompol Muhammad Yasin mendeklarasikan diri sebagai Polisi RI. “Dan Surabaya, melalui Residen Sudirman, mengikrarkan diri sebagai bagian dari RI,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Aminuddin, kelangsungan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Indonesia (KNI), sebelum DPR/MPR terbentuk, sebagai amanat aturan tambahan UUD 1945. Bersamaan dengan pembentukan KNI, Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga dikukuhkan. Rapat KNI 24-27 Agustus ’45 memutuskan bahwa BKR, KNI, dan elemen rakyat belum punya kekuatan senjata. “Karena Jepang sudah harus dilucuti, maka rapat menuntut agar senjata Jepang itu diserahkan kepada rakyat Surabaya,” katanya.

Pada 17 September 1945, di Surabaya ada peringatan satu bulan kemerdekaan RI. Esok harinya, seorang pemuda mengetahui adanya bendera Belanda yang dikibarkan di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit). Di tempat ini memang terdapat tentara Belanda yang sedang menunggu pembebasan kompatriotnya dari tangan Jepang. Para pemuda memprotes pengibaran bendera itu agar diturunkan. Tetapi karena tidak digubris, maka terjadilah insiden Tunjungan. Yaitu tawuran antara pemuda Surabaya dengan tentara Belanda yang berpuncak pada perobekan bendera Belanda tersebut.

“Berbagai peristiwa itu sebenarnya mematangkan pemuda Surabaya untuk menentang kolonial yang akan kembali ke Indonesia,” jelas Aminuddin. Kemudian pada 21 September, rakyat Surabaya menggelar rapat besar di lapangan Tambaksari, sebuah acara yang tidak pernah bisa dilaksanakan di Jakarta. Rapat itu sebagai konsolidasi untuk merebut senjata-senjata Jepang dari berbagai pusat kekuatannya di gedung Don Bosco di Jalan Tidar, Pacuan Kuda Sawahan, Gedung Lindeteves, markas Heiho sebelah Hotel Yamato, dan berpuncak pada perebutan markas Kompeitei (Polisi Rahasia Jepang) pada 1 Oktober di daerah Tugu Pahlawan. "Menjelang Oktober, Surabaya sudah lepas dari tangan Jepang. Tinggal komando resminya yang belum diperoleh dan diambil," kata Aminuddin Kasdi.

Namun, kehadiran tentara Inggris pada 25 Oktober menimbulkan masalah bagi rakyat Surabaya. Sebab, orang Indonesia tidak mau menyerahkan senjata rampasannya dari Jepang ke Inggris yang ditugaskan Sekutu untuk melucutinya. Maka meletup pertempuran di Jembatan Merah pada 28 Oktober. Begitu hebatnya pertempuran ini, sampai pada 29 Oktober Presiden RI Soekarno dan Mayjen Douglas Cyril Hawthorn mewakili Letjen Sir Philip Christison didatangkan ke Surabaya untuk melerai. "Para pemimpin itu datang untuk berunding dan mendamaikan, sehingga dibentuklah panitia penghubung atau biro kontak," papar Aminuddin.

Setelah dicapai kesepakatan, insiden kembali terjadi dengan terbunuhnya Brigjen Aulbertin Walter Sothern Mallaby sewaktu mengendarai mobil di Jembatan Merah. Tewasnya Mallaby membuat tentara Sekutu marah. Pengganti Mallaby, Mayjen Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjatanya ke Inggris di Jalan Jakarta sambil meletakkan tangan di atas kepala. “Jika sampai 9 November tidak ada keputusan, Surabaya akan digempur dari laut, darat, dan udara,” kata Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jatim itu.

Pada 9 November ‘45, Gubernur Suryo, Residen Sudirman, dan Bung Tomo berpidato menolak ultimatum Sekutu. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk. Selain itu, banyak organisasi perjuangan yang dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar.

Penolakan ini berbuntut pada meletusnya pertempuran 10 November. Pagi itu, tentara Inggris yang bersenjata lengkap dan modern menyerbu Surabaya dari segala sisi. Untuk mendukung pasukan infanteri yang menyerbu dengan tank, Inggris juga mengerahkan pesawat-pesawat untuk membombardir Surabaya. Dari arah pelabuhan Tanjung Perak, meriam dan senapan mesin kapal-kapal perang sekutu memuntahkan peluru-peluru yang diarahkan ke pusat kota Surabaya. Tetapi perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota.

Dengan kekuatan besar, Inggris memperkirakan perang rakyat Surabaya itu bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari. Namun perkiraan itu meleset. Sampai Jenderal Mansergh memutuskan untuk menambah kekuatan militernya dengan mengerahkan tambahan 8 pesawat pembom, 4 pesawat tempur, 21 tank, serta kendaran lapis baja pengangkut pasukan yang dilengkapi senapan mesin berat dalam jumlah besar.

Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh ke tangan Inggris. Banyak pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. mz abidin, riza fachruddin, kholid

Boks

Kronologi Perang Rakyat 1945 di Surabaya

25 Oktober, 6000 pasukan Inggris-India yaitu Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigjen AWS Mallaby mendarat di Surabaya untuk melucuti tentara Jepang, tentara dan milisi Indonesia.

26 Oktober, tercapai kesepakatan antara Gubernur Jatim Suryo, dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata. Terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan Jakarta yang dipimpin Letjen Sir Philip Christison.

27 Oktober, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran yang memerintahkan semua tentara dan milisi Indonesia menyerahkan senjata.

28 Oktober, pasukan Indonesia dan milisi menggempur tentara Inggris. Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan panglima tentara Inggris Divisi 23, Mayjen DC Hawthorn pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.

29 Oktober, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen DC Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.

30 Oktober, dicapai persetujuan genjatan senjata antara RI dengan Inggris, dan Mayjen Hawthorn dan ketiga pemimpin RI kembali ke Jakarta. Namun, pada sore harinya mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby meledak saat melintas di gedung Internatio, Jembatan Merah, hingga menewaskan dirinya bersama sopir.

1 November, Mayjen Mansergh mengultimatum rakyat untuk menyerahkan senjatanya ke tentara Inggris di jalan Jakarta sambil meletakkan tangan di atas kepala. Namun, ultimatum ini tidak pernah diindahkan.

10 November, Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dengan mengerahkan serdadu, pesawat terbang dan kapal perang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Penerbit: PWM Jawa Timur. ISSN: 1907-6290. Penasihat Ahli: Syafiq A. Mughni, Nur Cholis Huda, Mu'ammal Hamidy, Muhadjir Effendy.

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: A. Fatichuddin. Redaktur Pelaksana: Muh Kholid AS.

Pemimpin Perusahaan: Nadjib Hamid. Wakil Pemimpin Perusahaan: Tamhid Masyhudi. Dewan Redaksi: A. Fatichuddin, Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, Ahmad Nur Fuad, Agus Weha, Abd. Sidiq Notonegoro, Agus Setiawan.

Staf Redaksi: MZ Abidin, M. Adnan, Noor Ainie. Fotografer: Ilok. Ilustrasi: Setia Hati.

Tata Letak: Nabila. Sekretaris: Anifatul Asfiyah.

Alamat Redaksi: Jl. Kertomenanggal IV/1 Surabaya 60234, Phone : 031 - 8471412, Fax : 031 - 8420848, Email : matan_pwm@yahoo.com

Templates Novo Blogger Get Free Blogger Template