Penerbit: PWM Jawa Timur. ISSN: 1907-6290.

Penasihat Ahli: Syafiq A. Mughni, Nur Cholis Huda, Mu'ammal Hamidy, Muhadjir Effendy.

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: A. Fatichuddin.

Redaktur Pelaksana: Muh Kholid AS.

Pemimpin Perusahaan: Nadjib Hamid.

Wakil Pemimpin Perusahaan: Tamhid Masyhudi.

Dewan Redaksi: A. Fatichuddin, Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, Ahmad Nur Fuad,

Agus Weha, Abd. Sidiq Notonegoro, Agus Setiawan.

Staf Redaksi: MZ Abidin, M. Adnan, Noor Ainie.

Fotografer: Ilok. Ilustrasi: Setia Hati.

Tata Letak: Nabila.

Sekretaris: Anifatul Asfiyah.

Alamat Redaksi: Jl. Kertomenanggal IV/1 Surabaya 60234, Phone : 031 - 8471412, Fax : 031 - 8420848, Email : matan_pwm@yahoo.com

Jumat, 28 November 2008

W A W A N C A R A

Aminuddin Kasdi
Sejarah Adalah Penanda Zaman

Perjalanan hidup sebuah bangsa dapat dilihat dari sejarahnya. Sejarah adalah aset bangsa untuk melihat perjuangan dan kegigihan pejuang zaman dahulu. Sejarah adalah anak zaman, sejarah adalah pertanda, ciri atau cermin dari sebuah zaman. Namun, sejarah seringkali juga menjadi komoditas politik untuk melambungkan nama dan kekuasaan pihak-pihak tertentu. Sehingga sangat mungkin sejarah Indonesia misalnya, mulai masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, akan berbeda dalam mengeksplorasi sebuah peristiwa.

Bagaimana sejarawan menyikapi penulisan sejarah yang bervariatif? Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jatim, Prof Dr Aminuddin Kasdi, menyatakan sebuah peristiwa penting tentu akan meninggalkan saksi, rekaman, tulisan, pengabadian, foto dan tempat kejadian. Untuk mengetahui pandangannya, wartawan MATAN Riza Fachruddin mewawancarai penulis buku Kaum Merah Menjarah (2001) itu di kediamannya, Jl. Tenggilis Utara I/41 Surabaya, dua pekan lalu. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana pendapat Anda tentang pandangan sebagian kalangan mengenai adanya ‘penyelewengan’ penulisan sejarah di Indonesia?

Perlu diketahui, sejak teks sejarah itu dituliskan pasti memiliki beberapa visi dan bermacam sudut pandang. Tidak heran jika dalam setiap negara pasti memiliki versi sejarahnya sendiri. Sebab, pada setiap rezim yang memimpin sebuah negara pasti ingin menancapkan ideologinya untuk kepentingan rezim tersebut. Hal ini pernah disindir oleh pemikir Perancis, Louis Althusser, dalam bukunya tentang Ideological State Apparatuses. Bahwa sejarah adalah salah satu alat penyebaran ideologi kekuasaan. Jadi sangat mungkin sejarah Indonesia dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, akan berbeda dalam mengeksplorasi sebuah peristiwa karena visi pemerintahannya memang berbeda.

Lalu bagaimana dengan pola penulisan sejarah di negara kita. Apakah penulisan sejarah yang sesuai visi itu tidak malah menjadi debatable?

Orang Barat itu bisa dikatakan lebih konsisten daripada orang Indonesia. Sebab, jika ada perbedaan pendapat dalam suatu persoalan, maka dibentuklah suatu forum untuk memperbincangkan dalam upaya mencari titik fokus yang sama. Tetapi kalau tidak dapat diperbincangkan, maka tidak ada larangan bagi pemerintah maupun oposisi untuk menulis sejarah sesuai dengan visi masing-masing.

Bagaimana dengan adanya penenggelaman beberapa tokoh dalam penulisan sejarah. Apakah ada metode tersendiri dalam mengungkap peristiwa itu?

Dalam metode penulisan sejarah, memang tidak bisa dilepaskan dari hukum kausalitas. Karena itu, perlu adanya pembeberan tentang latar belakang dan sebab-akibat sebuah peristiwa secara detail. Dan sudah menjadi keniscayaan sejarah bahwa setiap peristiwa pasti mempunyai sebab-musabab.

Selanjutnya, keyakinan seorang sejarawan dalam mempelajari ilmu sejarah dan menuliskannya sangat tergantung dengan sumber sejarah. Karena peristiwa sejarah adalah peristiwa penting, maka saat peristiwa itu terjadi pasti tidak hanya dilakukan dan diketahui secara personal. Tetapi pasti disaksikan oleh orang yang namanya saksi sejarah dan rekaman sebagai data yang bisa ditulis. Dua data orisinil itulah yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan.

Selain dua data itu, terdapat pembuat kebijakan, dan di sinilah perlu dicari siapa pembuat kebijakan pada waktu itu. Pembuat kebijakan itu bisa saja organisasi atau lembaga yang mengeluarkan statemen pada saat peristiwa tersebut terjadi. Kalau peristiwa dianggap penting, maka pasti ada orang yang menyaksikannya, ada rekaman, tulisan, pengabadian, foto dan tempat kejadiannya. Jadi, yang terpenting adalah sumber-sumber sejarahnya bisa dipertanggungjawabkan.

Apa saja sumber sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan?

Sumber sejarah setidaknya ada tiga macam. Pertama, kalau sejarah itu tidak dilakukan sendiri, maka ada sumber lisan (oral history). Tetapi perlu diketahui, pelaku sejarah umumnya tidak netral. Ada bias karena berat sebelah secara pribadi. Kalau kebetulan yang ditanyakan ada kepentingan dengan dirinya, maka biasanya akan ditonjolkan yang baik-baik saja. Tetapi kalau yang dipersoalkan adalah orang yang memusuhinya, maka biasanya akan dijelek-jelekkan.

Kedua, setiap orang pasti mempunyai dasar filsafat dan ketergantungan terhadap disiplin ilmu yang diperolehnya. Dua komponen ini membuat seseorang mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat sejarah, meski dalam peristiwa yang sama. Seperti menurut orang Marxis misalnya, mereka mengatakan orang kaya adalah penghisap orang miskin, dan seterusnya. Itulah yang disebut dengan pseudo sains, meski kejadiannya tidak seperti itu.

Ketiga, sumber visual, yaitu benda-benda yang dulunya dipakai para pelaku sejarah. Sumber terotentik dan terorisinil yang paling dicari para sejarawan adalah sumber tulisan. Sebab, sumber ini tidak akan berubah, meskipun telah bertahun-tahun lamanya. Lain halnya dengan sumber lisan, ia bisa berubah-rubah.

Bagaimana pandangan Anda tentang sejarah yang dipelintir?

Kalau dikatakan dipelintir itu tidak. Justru orang yang mengatakan dipelintir itu biasanya adalah mereka yang tidak mendapat tempat dan merasa dirugikan. Misalnya orang-orang yang pada masa Orde Baru tidak mendapat tempat dan orang-orang PKI yang tahun 1965 ditumpas dan mereka merasa menjadi korban.

Jika terdapat sumber sejarah lain yang berlawanan?

Yang pasti akan dikonfrontir. Sudah tentu ada kaidah untuk menelusurinya, yaitu dengan membandingkan satu sumber dengan sumber lainnya. Karena itu, jika ada sumber lisan dan tertulis lain yang berbeda, maka akan dilakukan pencocokan dengan sumber-sumber lain. Jika memang tidak ada kecocokan, barulah dicari latar belakang perbedaannya. Dengan demikian, tidak ada yang namanya sejarah itu disalahgunakan, tetapi yang terjadi mungkin ada data yang kurang kuat saja.

Bagaimana dengan motif politik yang terjadi dalam pembukuan sejarah?

Semua itu pasti ada motif politiknya. Politik itu kan namanya kebijakan. Jadi yang ditulis hanyalah apa dipandang perlu oleh pemerintah berdasarkan masukan dari para ahli. Misalnya saja, dulu ada penulisan sejarah pemberontakan PKI di buku sekolah, tetapi dalam kurikulum 2004 dihapuskan. Kemudian diprotes dan diingatkan oleh para pelaku sejarah, karena peristiwa G 30 S/PKI bukan buatan Soeharto tapi itu memang merupakan proses perkembangan.

Misalnya juga tentang peristiwa PKI di Madiun. Peristiwa ini dulu tidak dimasukkan dalam sejarah. Namun, setelah diajukan dan diseminarkan oleh pihak-pihak yang berkompeten, akhirnya dimasukkan dalam buku sejarah. Artinya, penulisan sejarah yang ditulis setelah melalui rangkaian pengajuan dan pendiskusian yang matang akan semakin menyempurnakan otentitasnya.

Tapi jika orang itu menulis sejarah yang keliru?

Yang memutuskan kelayakan sejarah adalah masyarakat. Jadi, sejarah tidak bisa diluruskan. Biarlah peristiwa sejarah berjalan seperti apa adanya. Bahwa sejarah atau historiografi merupakan anak zaman, sejarah adalah pertanda, ciri atau cermin dari sebuah zaman. Zaman Bung Karno, Orde Baru, atau Reformasi misalnya, tentu mempunyai ciri berbeda. Namun, kalau ada orang yang ingin menulis dengan versi yang berbeda, tentu juga diperbolehkan.

Kalau ada anggapan terjadinya pemutarbalikan fakta, biasanya muncul karena seorang penulis menuangkan sejarahnya dengan sisi yang berbeda. Misalnya saja, sudut pandang sejarah Isa Anshori tentu akan berbeda dengan DN Aidit. Perbedaan itu tentu tidak bisa disamakan karena mempunyai ideologi dan kepentingan yang berbeda.

Bagaimana cara meminimalisir perbedaaan dalam penulisan sejarah?

Membuat jawaban, tanggapan atau counter berdasar sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya. Dan, sekarang ini keinginan masyarakat untuk memperoleh sejarah yang kredibel diberi kesempatan yang luas. Sebab, semua orang bisa meneliti berbagai sumber sebuah sejarah tanpa larangan.

Kalaupun ada sejarah yang ditulis pemerintah tidak sesuai dengan fakta, itu terjadi karena ada pihak-pihak yang menungganginya. Jadi, saya kira pemerintah tidak pernah menyelewengkan sejarah karena semuanya memang disesuaikan dengan visi dan misi masing-masing.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Penerbit: PWM Jawa Timur. ISSN: 1907-6290. Penasihat Ahli: Syafiq A. Mughni, Nur Cholis Huda, Mu'ammal Hamidy, Muhadjir Effendy.

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: A. Fatichuddin. Redaktur Pelaksana: Muh Kholid AS.

Pemimpin Perusahaan: Nadjib Hamid. Wakil Pemimpin Perusahaan: Tamhid Masyhudi. Dewan Redaksi: A. Fatichuddin, Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, Ahmad Nur Fuad, Agus Weha, Abd. Sidiq Notonegoro, Agus Setiawan.

Staf Redaksi: MZ Abidin, M. Adnan, Noor Ainie. Fotografer: Ilok. Ilustrasi: Setia Hati.

Tata Letak: Nabila. Sekretaris: Anifatul Asfiyah.

Alamat Redaksi: Jl. Kertomenanggal IV/1 Surabaya 60234, Phone : 031 - 8471412, Fax : 031 - 8420848, Email : matan_pwm@yahoo.com

Templates Novo Blogger Get Free Blogger Template