Majalah Matan - Enak Dibaca dan Mencerahkan

Penerbit: PWM Jawa Timur. ISSN: 1907-6290.

Penasihat Ahli: Syafiq A. Mughni, Nur Cholis Huda, Mu'ammal Hamidy, Muhadjir Effendy.

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: A. Fatichuddin.

Redaktur Pelaksana: Muh Kholid AS.

Pemimpin Perusahaan: Nadjib Hamid.

Wakil Pemimpin Perusahaan: Tamhid Masyhudi.

Dewan Redaksi: A. Fatichuddin, Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, Ahmad Nur Fuad,

Agus Weha, Abd. Sidiq Notonegoro, Agus Setiawan.

Staf Redaksi: MZ Abidin, M. Adnan, Noor Ainie.

Fotografer: Ilok. Ilustrasi: Setia Hati.

Tata Letak: Nabila.

Sekretaris: Anifatul Asfiyah.

Alamat Redaksi: Jl. Kertomenanggal IV/1 Surabaya 60234, Phone : 031 - 8471412, Fax : 031 - 8420848, Email : matan_pwm@yahoo.com

Jumat, 28 November 2008

PERANG 10 NOVEMBER ’45, PERANG SANTRI

Peran Laskar Hizbullah dan Sabilillah dalam perang rakyat 10 November 1945 di Surabaya menjadi tonggak pemertahanan kemerdekaan Republik ini.

“Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…! Merdeka !”

Penggalan pidato berapi-api Bung Tomo itu tak lepas dari pekik takbir dan kata merdeka, yang merupakan ciri khas pidatonya dalam membakar semangat kepahlawanan para pejuang Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945. Kalimat itu selalu digunakan dalam mengawali dan mengakhiri pidato. Bukan merdeka atau mati. Padahal dalam rentang waktu proklamasi 17 Agustus 1945 hingga Oktober 1945, pekik ‘merdeka atau mati’ sudah tersosialisasi secara luas di seluruh penjuru tanah air.

"Bung Tomo tampaknya cukup tahu kalau para pejuang yang terjun langsung dalam peristiwa itu adalah umat Islam," kata Rosdiansyah, alumnus Institute of Social Studies Den Haag, Belanda, kepada MATAN. Dengan demikian, kalimat takbir yang dipekikkan Bung Tomo tidak dilakukan dengan asal-asalan, tetapi melalui perhitungan psikologis yang cukup matang. Sebab, Lanjut Rosdiansyah, penggunaan takbir saat berperang mempertahankan tanah air adalah panggilan perang suci, jihad fi sabilillah.

Dugaan ini semakin menemukan konteksnya seiring dengan terbitnya In memoriam: Sutomo, hasil disertasi William H. Frederick, di Cornell University. Buku yang diterjemahkan oleh Hermawan Sulistyo dengan judul Bung Tomo: Pandangan dan Gejolak (1979) itu disebut bahwa teriakan Allahu Akbar sebelum dan sesudah (pidato, red), diperhitungkan untuk menarik perhatian orang Islam Surabaya yang taat, tetapi belum terjaring dalam perlawanan melawan penjajah. Kesimpulan ini diambil setelah Frederick mewawancarai langsung Bung Tomo sebelum wafat pada tahun 1981, yaitu 1972-1973.

Propaganda Islami inilah yang menggerakkan rakyat ikut aktif dalam perjuangan melawan musuh, yaitu tentara Inggris yang menyelundupkan tentara Belanda, Netherlands Indies Civil Adminsitration (NICA). Meski bersenjata seadanya, mereka dengan gagah berani berhadapan langsung melawan Inggris di daerah Pambun dan Bubutan. "Inilah yang membedakan pertempuran di Surabaya dengan daerah lain. Surabaya tidak menerapkan perang gerilya, tetapi face to face," terang Rosdiansyah.

Meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tetapi tidak semua negara di dunia mengakuinya, termasuk Belanda dan sekutunya. Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, Indonesia mulai diserang kembali oleh Belanda dan sekutunya. Sehingga para kiai dan santrinya bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah untuk menghadang kolonial masuk kembali ke Indonesia. Berbagai pesantren yang merupakan tempat pendidikan berubah fungsi sebagai markas pasukan kedua satuan itu, dan setiap saat siap menunggu komando untuk berangkat ke medan perang.

Di Surabaya, beberapa tokoh Islam berkumpul, mengatur strategi menghadapi serangan Sekutu yang telah mengultimatum Indonesia untuk ‘menyerah’ pada 9 November 1945. Diantara mereka ada KH. Mas Mansur, KH. Abdul Wahab Hasbullah, Bung Tomo, Roeslan Abdul Ghani, dan Dul Arnowo. (Baca:

Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, sampai salah seorang komandan pasukan India, Zia-ul-Haq, terheran-heran menyaksikan para Kyai dan santri bertakbir sambil mengacungkan senjata. Sebagai muslim, hati Zia-ul-Haq terenyuh, dan dia pun menarik diri dari medan perang. Sikap tentara yang kemudian menjadi Presiden Pakistan ini tentu saja semakin menyulitkan pasukan Inggris menguasai Indonesia dari sisi Surabaya.

Peran penting umat Islam dalam peristiwa 10 November itu juga diamini oleh KH Sholahuddin Wahid, cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy'ari. Menurut pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng Jombang ini, kakeknya bersama beberapa Kyai berunding dan menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 harus dipertahankan oleh seluruh rakyat Indonesia. "Umat Islam wajib membantu tentara Indonesia yang saat itu baru didirikan untuk melawan Belanda, dan siapa yang gugur mendapat status syahid,” kenangnya.

Untuk itulah, KH Hasyim Asy’ari memerintahkan KH Wahab Chasbullah dan KH Bisri Syamsuri untuk mengumpulkan Kyai se-Jawa dan Madura. Para Kyai dari itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dan dipimpin Kyai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945. Pada 23 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari, atas nama PBNU, mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. "Itulah yang mendorong kaum muda untuk menyambut seruan Bung Tomo untuk berperang melawan tentara Inggris dan Belanda," paparnya.

Resolusi jihad itu lahir karena tentara Indonesia yang baru berdiri belum sekuat sekarang, bahkan berdirinya saja masih beberapa minggu. Dalam resolusi itu disebutkan, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada'. Sedangkan warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. "Kesadaran itu menunjukkan bahwa kalangan santri mempunyai nasionalisme yang tinggi untuk mengusir penjajah," terang Kyai yang akrab dengan panggilan Gus Sholah itu.

Untuk menyambut pidato di radio yang menggelora dari Bung Tomo, maka semakin mantaplah semangat heroisme para pejuang yang berada di lapangan. Tidak hanya itu, laskar Hisbullah dan Sabilillah sebagai sayap militer umat Islam mulai berduyun-duyun memasuki Surabaya untuk menghadang kembalinya sang penjajah. Di antara alumnus kedua laskar yang ikut bertempur di Surabaya itu adalah KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, KH Baidowi, KH Mukhlas Rowi, dan KH Sulanam Samsun.

Tidak beda dengan Jatim bagian Selatan, seruan jihad melawan kolonial juga berkumandang keras di Jatim bagian Utara. Tampil sebagai pelopor adalah KH. Amin dari Tunggul, Paciran, Lamongan, sebagai komandan Hizbullah. Meski saat itu teknologi belum maju, tetapi KH Amin menjalin komunikasi yang baik dengan para Kyai di Jombang, Solo, dan Yogyakarta. "Saat itu sudah ada dua guru dari Muhammadiyah Yogyakarta yang ikut mengajar di lembaga pendidikan yang didirikan Kyai Amin. Namanya Bunyamin dan Mazidah," tutur KH Hazim Amin, anak sulung KH Amin.

Sehingga saat mendengar Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan 'misi' mengembalikan Indonesia kepada Belanda, maka KH Amin menggelar rapat bersama para Kyai di wilayahnya. Menurut penuturan Kyai Hazim, pertemuan itu dilakukan di daerah Blimbing, Paciran. Bersama dengan Kyai Ridlwan Syarqowi (pendiri Pondok Modern Muhammadiyah Paciran), Kyai Hazim menjadi saksi pertemuan yang melibatkan KH Adnan Noer, KH Anshory (ayahanda mantan Ketua PDM Lamongan, KH Afnan Anshory), dan KH Sa'dullah. "Namun, saat itu saya masih kecil," tutur pria yang saat ini dipercaya sebagai penasehat PDM Bojonegoro tersebut.

Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Tidak ketinggalan, KH Amin juga berangkat ke Surabaya, termasuk mengusahakan pendanaannya untuk berangkat. "Untuk pendanaan, beliau menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin," ungkap Kyai Hazim yang saat itu melihat langsung.

Kepahlawanan KH Amin dalam peristiwa 10 November memang cukup legendaris sampai sekarang. Bahkan saat itu ada stasiun radio yang menyiarkan bahwa KH Amin adalah seorang yang tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur di Surabaya. Bahkan, dia juga dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom sebanyak 8 kali. Siaran inilah yang membuat kepulangan KH Amin ke Tunggul disambut oleh 3000-an orang untuk meminta ijazah ‘kekebalan’ darinya. Kondisi ini tentu saja membuatnya marah. “Beliau mengatakan tidak mati karena bomnya meleset," kenang Hazim saat ayahnya datang dari Surabaya

Namun seperti para Kyai pada umumnya, setelah revolusi fisik mereka tidak melanjutkan karier militernya secara maksimal. KH Amin hanya sebentar masuk militer, meski sempat mengalami perubahan nama dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia merasa lebih cocok menjadi pengasuh pondok, sehingga mengundurkan diri dari tentara. "Beliau mundur dari TNI ketika berpangkat mayor," papar Hazim.

Ribuan anggota lain menempuh jalan seperti yang diambil KH Amin, yaitu menanggalkan atribut militer dan kembali ke pesantren. Sebuah langkah sama yang diambil oleh KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, dan KH Baidowi. Sebagian besar bahkan memilih untuk menyingkir dari arena politik sama sekali, sehingga sejarah akhirnya menenggelamkan kiprah mereka yang sebenarnya luar biasa. Bukankah sejarah yang tertulis adalah hak dan kadangkala monopoli golongan atau kelompok yang menang dalam pertarungan politik? mz abidin, riza fachruddin, kholid

Lima butir Resolusi Jihad

1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan

2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong

3. Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia

4. Umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali

5. Kewajiban ini merupakan perang suci bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer. Sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang.

T A J U K

PUTARAN II

Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim kembali dihelat, 4 November ini. Putaran II. Sebabnya, di putaran I, tidak satu pun pasangan calon memperoleh 30 persen suara. Unggulan pertama, pasangan Karsa hanya dapat 4.498.332 suara (26,44 %). Unggulan kedua, pasangan Kaji memperoleh 4.223.089 suara (24,82 %). Sesuai aturan Pilgub, Karsa dan Kaji masuk ke putaran II. Konsekwensinya, negara kembali mengeluarkan uang, demikian juga dengan kedua pasangan calon. Para tim sukses kerja lagi, all out. Banyak tenaga dan pikiran tersita untuk Pilgub. Tentu berimbas pada aktivitas lainnya. Tapi itulah salah satu buah demokrasi.

Muhammadiyah Jatim, sebagai ormas keagamaan besar, tentu tak luput dari imbas itu. Bagaimana pun, tidak sedikit anggota Persyarikatan ini ikut ambil bagian dalam perhelatan politik tersebut. Untungnya mereka sangat paham dengan kiprah Muhammadiyah yang tidak melibatkan secara langsung kegiatan politik praktis, melainkan dalam kancah pemurnian ideologi dan sosial. Mereka bisa membedakan kiprah personal dengan kiprah kelembagaan. Mereka tidak menyeret-nyeret Muhammadiyah dalam kancah Pilgub. Hasilnya, Muhammadiyah tidak tercemar, dan aktivitas Persyarikatan tidak sampai ‘tergetar’.

Meski demikian bukan berarti Muhammadiyah tidak peduli dengan kegiatan politik praktis, sebagai bagian tak terpisahkan dari tatanan kehidupan bernegara. Muhammadiyah selalu mengawal aktif dalam setiap even-even politik. Tetapi hanya melingkup pada aspek moral, aspek normatif. Agar geliat politik masyarakat tidak menyimpang dari tatanan moral agama.

Dalam Pilgub putaran II ini, Muhammadiyah Jatim juga aktif mengawal. Untuk itu, PWM Jatim mengeluarkan 5 butir edaran untuk masyarakat Jatim, terutama warga Muhammadiyah. Pertama, Pilgub ini adalah momentum penting untuk menentukan orang yang layak memimpin Jawa Timur. Karena itu, hendaknya masyarakat berpartisipasi aktif dengan cara menggunakan hak pilih untuk calon terbaik. Masyarakat Jawa Timur diharapkan menggunakan hak pilihnya atas dasar pertimbangan-pertimbangan obyektif untuk kepentingan seluruh masyarakat Jawa Timur, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Kedua, dalam seluruh kegiatan Pilgub, hendaknya masyarakat dewasa menghadapi issue dan provokasi dari pihak manapun yang mengadu domba masyarakat. Provokasi yang mencoba membenturkan antar kelompok adalah prilaku yang tidak mendidik.

Ketiga, PWM Jatim akan selalu memberi pendidikan politik sehingga masyarakat Jawa Timur mampu menggunakan hak politiknya dengan cerdas dan dewasa.

Keempat, kepada seluruh masyarakat agar menjaga ketenangan dan ketenteraman selama masa Pilgub, dan ikut mengawal Pilgub agar berlangsung dengan aman dan jujur tanpa provokasi, ancaman, dan manipulasi perhitungan suara. Kekuatan moral, seperti Ormas, LSM, Ulama dan Intelektual perlu menunjukkan teladan yang terpuji dan tidak terlibat dalam tindakan yang tidak mendidik.

Kelima, siapapun yang terpilih dalam Pilgub ini harus diterima dengan besar hati oleh seluruh masyarakat Jawa Timur, dan menjauhkan sikap anarki atau kekerasan lainnya yang akan mencederai al-akhlaq al-karimah.

Muhammadiyah berharap, usai pesta demokrasi ini, masyarakat Jawa Timur tetap utuh. Lebih-lebih umat Islam yang memiliki dasar yang sama, yakni al-Quran dan as-Sunnah, yang menekankan bahwa umat Islam adalah ummatan wahidah, umat yang satu.

F O K U S III

Mereka di Balik Perang Itu

Bagi bangsa Indonesia, peristiwa 10 November 1945 bisa dibilang sebagai anugerah sekaligus musibah. Anugrah karena Surabaya, dengan peristiwa itu, adalah puncak dan poros kesempurnaan revolusi Indonesia. Musibahnya, Surabaya menjadi bara api dan banyak pejuang yang gugur. Waktu itu, semangat pemuda didominasi para santri yang datang dari luar kota. “Banyak yang mendapat warisan senjata Jepang seadanya untuk melawan sekutu,” kata Kadaruslan, Ketua Putera Surabaya (Pusura).

Dalam kacamata seniman yang juga pelaku sejarah 10 November 1945 itu, kemarahan Sekutu dipicu oleh insiden Jembatan Merah. Di depan gedung Internatio, Brigjen AWS Mallaby, jago pemenang perang dunia II mati di tangan orang kampung. Peristiwa itu membuat Sekutu mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata kepada mereka dengan batas akhir tanggal 9 November 1945, jam 18.00 wib. “Kalau tidak menyerah, Surabaya dibumihanguskan,” lanjut pria yang akrab dipanggil Cak Kadar itu.

Menurut kesaksian Cak Kadar, tanggal 9 November malam, sejumlah tokoh Surabaya rapat. Keputusannya: menolak menyerah. Lalu Doel Arnowo ditugasi berkonsultasi ke Jakarta. Ia telepon Menteri Luar Negeri, Ahmad Soebardjo. Jawabannya, disuruh menunggu, karena pemerintah sedang berunding dengan Inggris. Lalu menelpon Presiden Soekarno. Jawabannya sama. Telepon ketiga baru dapat jawaban. Soekarno bilang: “Terserah Surabaya.”

Maka sejumlah tokoh yang rapat saat itu sepakat dengan parik-an Suroboyo: Taliduk tali layangan, nyowo situk ilang-ilangan. Mereka memutuskan: Perang ! Diantara sejumlah tokoh itu adalah Kyai Wahab (KH Abdul Wahab Hasbullah), Bung Tomo (Soetomo), Cak Roeslan (Roeslan Abdulgani), Cak Mansur (KH Mas Mansur), dan Cak Arnowo (Doel Arnowo).

Siapakah sebenarnya mereka yang berani memutuskan perang itu?

Soetomo

Soetomo, yang sering disapa Bung Tomo, lahir di Kampung Blauran, Surabaya, 3 Oktober 1920. Berada di balik microphone RRI, dia menjadi seorang orator ulung yang memompa semangat juang rakyat Surabaya dalam peristiwa 10 November 1945. Dengan nada berapi-api, Bung Tomo selalu memekikkan takbir, kalimat yang lazim digunakan untuk membakar semangad jihad umat Islam.

Bung Tomo meninggal dunia pada 7 Oktober 1981 di Makkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazahnya dibawa ke tanah air dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel Surabaya, bukan Taman Makam Pahlawan layaknya pahlawan. Perannya dalam peristiwa 10 November belum mendapat penghargaan dari pemerintah sebagaimana mestinya. Mulai Orde Lama sampai orde sekarang, Bung Tomo belum diakui sebagai Pahlawan Nasional.

KH Abdul Wahab Hasbullah

Kyai Wahab adalah panggilan akrab KH Abdul Wahab Hasbullah dalam masa pergolakan. Lahir di Tambak Beras, Jombang, Maret 1888. Dia tumbuh dan besar di lingkungan pesantren. Dialah yang mewakili KH Hasyim Asy’ari dalam memimpin rapat PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), yang diikuti para Kyai NU se-Jawa dan Madura, di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya, pada 22 Oktober 1945. Hasilnya, sepakat mengikuti seruan jihad KH Hasyim Asy’ari untuk berperang mempertahankan kemerdekaan RI. Seruan jihad itu kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad.

Kyai Wahab ikut turun dalam pertempuran 10 November. Ia menjadi Komandan Laskar Mujahidin, sebuah milisi yang melengkapi keberadaan Hizbullah dan Sabilillah. Tokoh revolusioner ini wafat pada 29 Desember 1971, empat hari setelah Muktamar NU XXV. Sama halnya dengan Bung Tomo, sosok peletak konsep badan Syuriah dan Tanfidziah dalam NU ini juga belum diakui sebagai pahlawan di mata pemerintah.

KH Mas Mansur

KH Mas Mansur lahir di kampung Sawahan, Surabaya, 25 Juni 1896. Ia kawan akrab KH Abdul Wahab Hasbullah sejak muda. Pada 1937, Mas Mansur hijrah ke Yogyakarta, setelah terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah. Ketika terpilih sebagai Wakil Ketua Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada 1943, dia pindah ke Jakarta. Meski demikian, dia lebih sering dikaitkan dengan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bersama Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Hajar Dewantoro.

Ketika mendengar Surabaya akan digempur Sekutu, Mas Mansur bergegas kembali ke Surabaya pada 9 November 1945. Meski dalam kondisi sakit, dia masih ikut berjuang dan menggerakkan pemuda Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan hingga nafas berakhir. Dia mendatangi tempat-tempat para kaum muda dan membangkitkan semangat perjuangan mereka. Satu tahun kemudian, di tengah kecamuk perang mempertahankan kemerdekaan, dia ditangkap dan ditahan tentara NICA, hingga akhirnya meninggal pada 25 April 1946 di RKZ (Rooms Katholike Ziekenhuis, Rumah Sakit Katolik Roma), di Jl. Darmo, Surabaya.

Roeslan Abdulgani

Roeslan Abdulgani yang akrab dipanggil Cak Roeslan, lahir di Plampitan, Surabaya, 14 November 1914. Cak Roeslan adalah salah satu tokoh pelaku sejarah 10 November 1945, bahkan sebelum peristiwa ini meletus. Dia adalah juru bahasa Surabaya untuk berunding dengan tentara Inggris yang baru mendarat pada 25 Oktober 1945. Selain itu, dia juga menjadi juru runding mewakili pemuda Surabaya ketika bersitegang dengan NICA, akibat tewasnya Brigjen AWS Mallaby.

Cak Roeslan adalah tokoh nasional yang dapat bekerjasama dengan semua rezim pemerintahan sepanjang zaman. Mulai dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Allah swt memanggil ke keharibaan-Nya pada Rabu, 29 Juni 2005, pukul 10.20 wib, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata sehari kemudian.

Doel Arnowo

Doel Arnowo yang lahir pada 30 Oktober 1904, adalah teman dekat Roeslan Abdulgani sejak muda. Tempat kelahiran keduanya hanya terpisahkan oleh Sungai Genteng. Doel Arnowo berasal dari Genteng, sedangkan Roeslan dari Plampitan. Tidak jauh beda dengan peran Roeslan, Doel Arnowo dalam peristiwa 10 November 1945 juga ikut berjuang dan langsung menghadapi Inggris dan sekutunya, baik saat perundingan maupun pertempuran.

Oleh gerakan perlawanan, Doel Arnowo adalah penghubung Surabaya dengan pihak Jakarta. Sebab, Menteri Luar Negeri RI saat itu, Ahmad Soebardjo, adalah teman akrab Doel. Ketika Surabaya sudah bersepakat menolak ultimatum Inggris pada 9 November 1945, Doel diamanati melapor ke pusat. Jawaban dari Jakarta awalnya adalah “menunggu”, yang pada akhirnya dijawab “Terserah Surabaya!” Cak Doel meninggal dalam usia 89 tahun, tepatnya pada hari Jumat Kliwon, 18 Januari 1985. mz abidin, kholid

F O K U S II

MUASAL PERANG DI TANAH PAHLAWAN

Belanda ngotot menjajah kembali Indonesia, setelah Jepang jatuh. Rakyat Indonesia menolak. Perang dahsyat meletus di Tanah Pahlawan, Surabaya.

Enam puluh tiga tahun tahun silam, ‘kebonekan’ rakyat Surabaya dan sekitarnya menjadi inspirasi bagi negeri ini untuk mempertahankan kedaulatan RI melalui pertempuran 10 November 1945. Sebuah peristiwa yang sulit dibedakan, sebagai tindakan berani atau bodoh. Bayangkan saja, hanya bersenjatakan hasil rampasan dan bambu runcing mereka menghadang pasukan pemenang Perang Dunia II yang bersenjata lengkap dan modern. Heroisme ‘model’ bonek inilah yang sampai sekarang diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Menurut Ketua Umum Putera Surabaya (PUSURA), Kadaruslan, ada tiga peristiwa besar yang melatarbelakangi revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu. Tiga peristiwa itu terjadi dalam waktu 4 bulan berturut-turut: Proklamasi RI 17 Agustus ‘45 di Jakarta, pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 5 Oktober ‘45 di Yogyakarta, dan peristiwa 10 November ‘45 di Surabaya. “Sepuluh November adalah puncak revolusi kemerdekaan Indonesia dengan munculnya perang rakyat terbesar sepanjang perang melawan Sekutu,” tegasnya.

Pertempuran itu tidak lepas dari kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Bom atom yang dijatuhkan Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 membuat Jepang lunglai, hingga menyerah kalah tanpa syarat pada 15 Agustus 1945. Dalam situasi power vacum di Hindia Belanda inilah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus. Maka, sejak itu muncul berbagai gerakan rakyat untuk melucuti senjata pasukan Jepang.

Ketika gerakan pelucutan itu sedang berlangsung, pada 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta. Tentara ini didatangkan ke Indonesia berdasarkan keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas melucuti senjata tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, dan memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun, kehadiran tentara Inggris ternyata diboncengi oleh Belanda untuk menjajah kembali Indonesia dengan dilibatkannya Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dalam pelucutan.

Kenyataan ini meledakkan kemarahan rakyat Indonesia, tidak kecuali di Surabaya, dan bersiap melawan Inggris. Menurut sejarawan Prof Aminuddin Kasdi, sebelum peristiwa 10 November, di Surabaya telah mengindikasikan akan terjadi pertempuran besar. Pada 21 Agustus ’45, Polisi Istimewa (Brimob) yang terbilang mempunyai senjata lengkap dan dipimpin Kompol Muhammad Yasin mendeklarasikan diri sebagai Polisi RI. “Dan Surabaya, melalui Residen Sudirman, mengikrarkan diri sebagai bagian dari RI,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Aminuddin, kelangsungan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Indonesia (KNI), sebelum DPR/MPR terbentuk, sebagai amanat aturan tambahan UUD 1945. Bersamaan dengan pembentukan KNI, Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga dikukuhkan. Rapat KNI 24-27 Agustus ’45 memutuskan bahwa BKR, KNI, dan elemen rakyat belum punya kekuatan senjata. “Karena Jepang sudah harus dilucuti, maka rapat menuntut agar senjata Jepang itu diserahkan kepada rakyat Surabaya,” katanya.

Pada 17 September 1945, di Surabaya ada peringatan satu bulan kemerdekaan RI. Esok harinya, seorang pemuda mengetahui adanya bendera Belanda yang dikibarkan di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit). Di tempat ini memang terdapat tentara Belanda yang sedang menunggu pembebasan kompatriotnya dari tangan Jepang. Para pemuda memprotes pengibaran bendera itu agar diturunkan. Tetapi karena tidak digubris, maka terjadilah insiden Tunjungan. Yaitu tawuran antara pemuda Surabaya dengan tentara Belanda yang berpuncak pada perobekan bendera Belanda tersebut.

“Berbagai peristiwa itu sebenarnya mematangkan pemuda Surabaya untuk menentang kolonial yang akan kembali ke Indonesia,” jelas Aminuddin. Kemudian pada 21 September, rakyat Surabaya menggelar rapat besar di lapangan Tambaksari, sebuah acara yang tidak pernah bisa dilaksanakan di Jakarta. Rapat itu sebagai konsolidasi untuk merebut senjata-senjata Jepang dari berbagai pusat kekuatannya di gedung Don Bosco di Jalan Tidar, Pacuan Kuda Sawahan, Gedung Lindeteves, markas Heiho sebelah Hotel Yamato, dan berpuncak pada perebutan markas Kompeitei (Polisi Rahasia Jepang) pada 1 Oktober di daerah Tugu Pahlawan. "Menjelang Oktober, Surabaya sudah lepas dari tangan Jepang. Tinggal komando resminya yang belum diperoleh dan diambil," kata Aminuddin Kasdi.

Namun, kehadiran tentara Inggris pada 25 Oktober menimbulkan masalah bagi rakyat Surabaya. Sebab, orang Indonesia tidak mau menyerahkan senjata rampasannya dari Jepang ke Inggris yang ditugaskan Sekutu untuk melucutinya. Maka meletup pertempuran di Jembatan Merah pada 28 Oktober. Begitu hebatnya pertempuran ini, sampai pada 29 Oktober Presiden RI Soekarno dan Mayjen Douglas Cyril Hawthorn mewakili Letjen Sir Philip Christison didatangkan ke Surabaya untuk melerai. "Para pemimpin itu datang untuk berunding dan mendamaikan, sehingga dibentuklah panitia penghubung atau biro kontak," papar Aminuddin.

Setelah dicapai kesepakatan, insiden kembali terjadi dengan terbunuhnya Brigjen Aulbertin Walter Sothern Mallaby sewaktu mengendarai mobil di Jembatan Merah. Tewasnya Mallaby membuat tentara Sekutu marah. Pengganti Mallaby, Mayjen Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjatanya ke Inggris di Jalan Jakarta sambil meletakkan tangan di atas kepala. “Jika sampai 9 November tidak ada keputusan, Surabaya akan digempur dari laut, darat, dan udara,” kata Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jatim itu.

Pada 9 November ‘45, Gubernur Suryo, Residen Sudirman, dan Bung Tomo berpidato menolak ultimatum Sekutu. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk. Selain itu, banyak organisasi perjuangan yang dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar.

Penolakan ini berbuntut pada meletusnya pertempuran 10 November. Pagi itu, tentara Inggris yang bersenjata lengkap dan modern menyerbu Surabaya dari segala sisi. Untuk mendukung pasukan infanteri yang menyerbu dengan tank, Inggris juga mengerahkan pesawat-pesawat untuk membombardir Surabaya. Dari arah pelabuhan Tanjung Perak, meriam dan senapan mesin kapal-kapal perang sekutu memuntahkan peluru-peluru yang diarahkan ke pusat kota Surabaya. Tetapi perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota.

Dengan kekuatan besar, Inggris memperkirakan perang rakyat Surabaya itu bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari. Namun perkiraan itu meleset. Sampai Jenderal Mansergh memutuskan untuk menambah kekuatan militernya dengan mengerahkan tambahan 8 pesawat pembom, 4 pesawat tempur, 21 tank, serta kendaran lapis baja pengangkut pasukan yang dilengkapi senapan mesin berat dalam jumlah besar.

Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh ke tangan Inggris. Banyak pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. mz abidin, riza fachruddin, kholid

Boks

Kronologi Perang Rakyat 1945 di Surabaya

25 Oktober, 6000 pasukan Inggris-India yaitu Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigjen AWS Mallaby mendarat di Surabaya untuk melucuti tentara Jepang, tentara dan milisi Indonesia.

26 Oktober, tercapai kesepakatan antara Gubernur Jatim Suryo, dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata. Terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan Jakarta yang dipimpin Letjen Sir Philip Christison.

27 Oktober, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran yang memerintahkan semua tentara dan milisi Indonesia menyerahkan senjata.

28 Oktober, pasukan Indonesia dan milisi menggempur tentara Inggris. Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan panglima tentara Inggris Divisi 23, Mayjen DC Hawthorn pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.

29 Oktober, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen DC Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.

30 Oktober, dicapai persetujuan genjatan senjata antara RI dengan Inggris, dan Mayjen Hawthorn dan ketiga pemimpin RI kembali ke Jakarta. Namun, pada sore harinya mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby meledak saat melintas di gedung Internatio, Jembatan Merah, hingga menewaskan dirinya bersama sopir.

1 November, Mayjen Mansergh mengultimatum rakyat untuk menyerahkan senjatanya ke tentara Inggris di jalan Jakarta sambil meletakkan tangan di atas kepala. Namun, ultimatum ini tidak pernah diindahkan.

10 November, Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dengan mengerahkan serdadu, pesawat terbang dan kapal perang.

R I S A L A H

SYARI’AH

Oleh: Prof Dr H Syafiq A. Mughni MA
Ketua PWM Jatim

Setiap pekan ada acara yang disebut ‘Asia-at-Noon’ di kampus State University of New York. Pada Oktober 2006, acara itu diisi diskusi bertajuk The Place of Indonesia in Islamic World. Isinya membahas peran negara kita dalam percaturan dunia Islam. Ada sebuah pertanyaan yang disampaikan oleh peserta menyangkut syari’ah yang pada saat itu menjadi isu di masyarakat. Tentu saja pertanyaan itu kemudian merambah ke Piagam Jakarta, platform partai-partai politik, peraturan daerah (perda), dan sebagainya. Mereka bertanya dengan rasa ketakutan bahwa Indonesia akan menjadi negara kejam dan diskriminatif. Mereka menyaksikan melalui media massa tentang wacana dan demonstrasi yang mengusung isu syari’ah.

Dalam al-Qur’an, kata syari’ah disebut hanya sekali, yakni Surat al-Jatsiyah: 18. Tsumma ja’alnaka ‘ala syari’atin min al-amr (kemudian kami jadikan engkau berada di atas syariat dari urusan itu). Sekalipun hanya disebut sekali, kata-kata itu dalam proses sejarah Islam menjadi sangat penting. Di masa kini, kata-kata itu semakin penting. Ada Mahkamah Syari’ah, ada Fakultas Syari’ah, ada Bank Syari’ah, dan ada juga Gerakan Pro-Syari’ah.

Dalam kitab Lisan al-Arab karya Ibn al-Mandhur, syari’ah berarti tempat air di tepi laut, tempat binatang minum. Bisa juga berarti jalan menuju mata air. Kemudian dalam konteks Islam, kata penulis tersebut, syari’ah bermakna apa yang ditentukan dalam agama. Pengertian ini menunjukkan cakupan syari’ah yang sangat luas. Ia mencakup seluruh amal perbuatan manusia yang diajarkan dalam Islam, mulai dari urusan makro sampai mikro. Mulai dari persoalan hubungan internasional sampai ke persoalan perilaku individual. Dengan kata lain, syari’ah menyangkut ajaran akhlaq (etika atau moral), muamalah (hubungan antarmanusia) dan ibadah (hubungan manusia dengan Tuhan).

Namun, ada kalanya syari’ah mengalami penyempitan makna. Syari’ah dipahami hanya sebagai hukum-hukum agama; bahkan dipersempit lagi menjadi hukum fikih; dipersempit lagi menjadi hukum perdata dan pidana. Yang sangat menggelisahkan adalah bahwa syari’ah diidentikkan hanya dengan hukum rajam dan potong tangan.

Bagi umat Islam, sesungguhnya tidak ada persoalan bahwa syari’ah adalah jalan hidup yang tidak bisa ditawar. Persoalannya terletak pada pemahamannya. Syari’ah harus dipahami secara komprehensif dan harus terwujud dalam kehidupan nyata. Karena itu, mendidik masyarakat untuk bisa bersuci secara higenis, misalnya, adalah manifestasi dari syari’ah. Bersuci tidak hanya cukup dengan menggunakan ukuran formalitas fikih saja. Bersuci sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan adalah bagian dari pelaksanaan syari’ah. Berjuang untuk melawan kemiskinan dan kebodohan adalah bagian dari syari’ah. Berjuang untuk menegakkan keadilan dan martabat manusia adalah juga bagian dari syari’ah. Demikian juga, memberantas korupsi dan menegakkan amanah adalah kewajiban syari’ah.

Menegakkan syari’ah memerlukan strategi. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan semangat dan keikhlasan. Semangat dan keikhlasan adalah penting, tetapi belum cukup untuk menjadikan perjuangan itu berhasil. Perjuangan memerlukan strategi. Karena itu, tidaklah cukup menegakkan syari’ah dengan memasang spanduk di jalan-jalan, atau demonstrasi. Apalagi dengan menakut-nakuti orang di jalan. Strategi itu akan menimbulkan ketakutan. Syari’ah kemudian dikesankan sebagai simbol yang menakutkan, bukan yang dibutuhkan.

Strategi menegakkan syari’ah melalui pendidikan dan layanan sosial tidak kalah penting. Penegakan syari’ah melalui jalan damai dan realistik akan lebih efektif. Karena itu, menjadikan syari’ah sebagai isu politik tidaklah produktif. Lebih baik kita mendorong esensi syari’ah yang berorientasi pada kemaslahatan, misalnya menjadi ruh bagi seluruh produk legislasi.

Kegagalan aktivis Islam dalam memahami syari’ah akan merugikan dakwah Islam. Lebih fatal lagi jika isu syari’ah hanya bertujuan politis dan berjangka pendek. Bisa dipahami jika masyarakat non-Muslim, seperti yang terlihat dalam forum Asia-at-Noon itu, merasa miris mendengarkan kata-kata ‘syari’ah’ karena berkonotasi hukum rajam, potong tangan, dan diskriminasi.

S O S O K

OPICK
Mantan Rocker Penggemar Rumi

Obat hati ada lima perkaranya
Yang pertama baca Quran dan maknanya
Yang kedua sholat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima dzikir malam perbanyaklah
Salah satunya siapa bisa menjalani
Moga-moga Gusti Allah mencukupi

Siapa yang tak kenal dengan pelantun lagu tombo ati ini? Surban putih yang tidak pernah lepas dari kepala saat berdendang adalah identitas yang tidak bisa dipisahkan dari penyanyi satu ini. Dengan jenggot tipis yang menghiasi dagunya, dia selalu terlihat sepenuh hati dalam memuntahkan sajak-sajak religinya. Tidak terasa, syair-syair yang disenandungkan mampu menggetarkan hati siapa pun yang mau menyimak dan menghayati maknanya.

Ya, dialah Aunur Rofiq Lil Firdaus, atau yang lebih dikenal dengan nama Opick. Lagu religi tampaknya telah menjadi bagian yang tidak lepas dari pria kelahiran Jember, 16 Maret 1974 ini. Lirik-lirik lagunya yang bernuansa religius tidak hanya diminati oleh penggemar musik religi, bahkan kalangan muda penyuka musik aliran pop pun menggemarinya. Karena aktifitasnya dalam lagu Islami, dia dinobatkan sebagai duta grup musik Islami Nasyid oleh Lembaga Nasyid Nusantara.

Menekuni dunia musik religi mungkin tidak terpikir sebelumnya oleh penyanyi yang satu ini. Betapa tidak, pada awalnya dia sudah bergelut lama dalam musik bergenre rock, bahkan telah membuat 5 album hasil kolaborasinya dengan beberapa band lain. Album pertama Opick di Log Zelbour, album ke-2 nya di Airo, album ke-3 bersama Kla Project, kemudian album ke-4 bersama Pai, Slank, dan Bongki, dan album ke-5 bersama band Plastik. Namun kelima album itu ditolak oleh perusahaan rekaman.

Di samping penolakan beruntun yang diterimanya, setelah album kelima itu Opick mulai gelisah. Sebab banyak temannya sesama penyanyi pop-rock tersandung kasus narkoba. Pada saat itulah dirinya ditawari menyanyikan lagu Tombo Ati oleh Ustad Arifin Ilham dalam album Tausiyah Dzikir dan Nasyid yang kemudian melambungkan namanya. "Saya kepingin lagu religi itu bisa menjadi mainstream dan bisa disejajarkan dengan musik-musik lain," ungkapnya.

Tahun 2005 merupakan awal perjalanan karir baru bagi anak keempat dari lima bersaudara ini. Album pertamanya, setelah dia banting setir menjadi penyanyi religi, mendapat sambutan yang meriah dari pasar. Dalam album ini, Opick bekerjasama dengan banyak musisi dan artis lain. Dalam lagu Cukup Bagiku misalnya, dia berkolaborasi dengan Gito Rollies. Selain itu, dalam lagunya yang lain, dia menggandeng Ustadz Jefri Al Buchori serta penyanyi cilik, Amanda.

Album Istighfar yang dirilis Opick menjelang Ramadhan 1426 H (2005) itu melambungkan namanya. Sebab, hanya dalam jangka sebulan, atau selama bulan Ramadhan, album tersebut terjual hingga 310 ribu kopi, dan meraih dobel platinum. "Alhamdulillah, surprise, senang dan haru. Semoga siapa saja yang mendengarkan album ini, mendapat setitik hidayah seperti saya," kata Opick saat menerima penghargaan.

Dalam perjalanan selanjutnya, dari 10 lagu yang terdapat dalam album Istighfar, 9 di antaranya dipakai oleh berbagai judul sinetron sepanjang tahun 2005 dan paruh pertama 2006. Dalam masa inilah, album Istighfar mampu menembus penjualan lebih dari 800 ribu kopi dan mendapat penghargaan lima platinum sekaligus. Sebab, satu platinum sama dengan penjualan 150 ribu keping. "Sebuah keberkahan bagi saya mendapatkan penghargaan lima platinum ini," kata Opick dalam jumpa pers sesaat setelah penghargaan ketika itu.

Tahun 2006 Opick meluncurkan album berjudul Semesta Bertasbih. Dalam album ini terdapat sepuluh lagu, di antaranya adalah Taqwa, Irhamna, Takdir, Teranglah Hati, 25 Nabi, Semesta Bertasbih, Bismillah, Satu Rindu, Buka Mata Buka Hati dan Ya Rasul. Sebagai lagu hit dalam album tersebut adalah Takdir yang dinyanyikannya bersama Melly Goeslaw. Selain dengan Melly, Opick juga berduet dengan Wafiq Azizah dalam lagu Yaa Rasul, dengan grup nasyid Pandawa Lima dalam lagu Teranglah Hati.

Tidak lama setelah album Semesta Bertasbih dilansir, Opick mengeluarkan buku berjudul Opick, Oase Spiritual Dalam Senandung. Peluncuran buku dimaksudkan agar para pendengar dapat mengerti isi lirik pada tiap lagu. "Jadi supaya mereka sedikit mengetahui mengenai latar belakang dan tujuan satu lirik di setiap lagu yang mereka dengar atau senandungkan," ujarnya. Selain penjelasan, buku ini juga menceritakan perjalanan Opick dalam meraih 'mimpi', termasuk saat bekerja sebagai tukang bangunan untuk membiayai bandnya.

Kemudian pada 2007, Opick kembali merilis lagu dengan judul Ya Rahman. Dan sebelum Ramadhan 2008, dia merilis album ke-4 dengan judul Cahaya Hati. Tidak jauh beda dengan albumnya yang sudah-sudah, Opick tetap mengangkat nuansa kerinduan dengan Tuhan dalam album terbaru ini. "Nuansa masih sama seperti yang lama, tentang kerinduan pada Tuhan. Tapi tetap ada cerita sendiri-sendiri dalam materi lagunya," terang Opick saat peluncuran album barunya itu.

Menurut Opick, menyanyikan lagu religi artinya adalah berdakwah melalui musik. Musik masih belum optimal dimanfaatkan sebagai lahan dakwah, terutama kepada remaja. Karena itu, dalam setiap lagu yang dinyanyikannya, Opick selalu berusaha agar syairnya mudah dimengerti orang dan menjadi inspirasi bagi orang lain untuk menjadi lebih baik. ”Dengan bermusik religi, kita membawa mereka kepada nilai-nilai Islam dengan bingkai hiburan. Dengan begitu dakwah bisa masuk dan pendengar juga terhibur,” terangnya.

Dengan misi dakwah inilah, tidak heran jika Opick tidak lupa menyampaikan pesan-pesan moral yang disisipkan dalam setiap lagunya. Layaknya seorang tokoh agama menasehati umat melalui khutbah, Opick juga mempunyai tujuan yang sama dengan syair-syairnya. Menyanyi dan berkhutbah memang sesuatu yang berbeda, tetapi oleh Opick keduanya bisa memiliki fungsi yang sama. Berkhutbah berusaha menyadarkan orang, begitu pun dengan menyanyi yang selama ini juga dimanfaatkan Opick sebagai sarana khutbahnya.

"Saya melalui lagu, layaknya khutbah lewat syair," ungkap Opick. Dengan misi dakwah ini pulalah, Opick tidak pernah melihat band atau penyayi lain yang menyanyikan lagu religi sebagai pesaing. Dia justru merasa senang, karena dengan demikian akan semakin banyak lahir lagu yang berfungsi sebagai media dakwah.

Karena lagu-lagu yang disenandungkannya sarat dengan nilai dakwah, maka salah satu pilar terpenting yang harus dimiliki penyanyi adalah fans. Keberadaan mereka sangatlah berarti, meski bukan segala-galanya. Namun Opick juga memberi catatan bagi penyuka lagunya, jangan sampai mereka terlalu mengidolakannya. ”Ada kehawatiran dalam diri saya kalau fans terlalu mengidolakan saya. Saya takut mereka akan kecewa kepada Opick karena tidak sesuai dengan apa yang mereka bayangkan. Mending mengidolakan Nabi Muhammad saja lah, beliau adalah teladan kita,” akunya.

Selain bermain musik, penyanyi yang selalu tampil bersorban ini juga menggemari teater dan menggambar. Di samping itu dia hobi membaca terutama karya-karya Jalaluddin Rumi, penyair dan sufi asal Afganistan. Menurutnya, karya Rumi sangat inspiratif dan menggugah. “Waktu senggang saya sangat suka membaca karya Rumi. Coba anda juga baca, saya kira akan bermanfaat,” katanya diakhir pembicaraan. af kareem, kholid

K O L O M

MOHAMMAD NATSIR

Oleh: Drs Nur Cholis Huda MSi

Wakil Ketua PWM Jatim

Ketika bangsa ini memperingati hari pahlawan, saya teringat Mohammad Natsir (1908-1993). Dia putra Indonesia dengan banyak kelebihan, sarat keteladanan, banyak jasa dan pengabdian pada Republik ini. Namun Natsir terabaikan.

Dia seorang guru bangsa dan negarawan jujur. Ketika menjadi Menteri Penerangan (3 kali dan 1 kali Perdana Menteri), setiap pidato Soekarno pada 17 Agustus tak lepas dari hasil sentuhan tangannya. Sejarah juga mencatat jasa besar Natsir menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari perpecahan berkeping-keping. Saat itu Indonesia dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) telah terbagi menjadi 16 negara bagian. Kepiawaian Natsir sebagai negarawan nampak ketika dalam sidang DPR RIS, April 1950. Ia membuat statemen yang terkenal dengan Mosi Integral Natsir. Dengan pikiran cemerlangnya, pada Agustus 1950 semua bersedia kembali menyatu dalam NKRI. Namun arsitek NKRI ini seakan ‘dicampakkan’ dari sejarah.

Di masa Orde Lama dia ditahan Soekarno. Di masa Orde Baru dibelenggu Soeharto dari segala kegiatan politik. Ketika keluar tahanan, dia tidak punya rumah. Lalu mengontrak rumah kecil berukuran 4 x 4 meter di sebuah gang. Anak-anaknya dititipkan tidur di familinya karena rumah itu tak cukup untuk seluruh anggota keluarga. Beberapa tahun kemudian baru bisa beli rumah di Jl. Cokroaminito 46, daerah Menteng, dengan menyicil. Ketika beliau wafat, anak-anaknya tidak mampu membayar pajak rumah itu, lalu dijual.

Natsir dikenal sangat sederhana. Dia tak malu sebagai Menteri memakai jas bertambal karena tak punya yang lain. Ini membuat sejarawan George Mc Turnan Kahin hormat dan kagum. Dia Perdana Menteri dengan mobil kusam dan menggeleng ketika ditawari sedan Impala. Dia pemimpin umat yang kantong kemejanya bernoda bekas tinta. Kepada mereka yang mengaku murid dan anak ideologi Natsir ingatlah kesederhanaan Natsir itu. Malulah menjadi politisi serakah, politisi busuk, politisi kutu loncat atau pejabat aji mumpung.

Natsir seorang yang lembut dan menjunjung perasahabatan. Sekalipun sangat anti komunis, tetapi setelah istirahat dari sidang dengan debat yang panas, ia makan sate ayam bersama dengan Ketua PKI, DN Aidit. Tidak ada kebencian pribadi.

Pada masa Presiden Habibie, Natsir mendapat bintang Maha Putra. Tapi banyak masyarakat meminta agar Natsir diberi penghargaan lebih dari itu: gelar pahlawan. Selain berjasa menjadikan Indonesia sebagai NKRI, ketika menjabat Perdana Menteri, Indonesia masuk menjadi anggota PBB.

. Tapi gelar pahlawan belum bisa diberikan kepada Natsir. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah yang ‘pengikut’ Natsir menyatakan sudah berusaha memperjuangkan sesuai kewenangannya. “Bahwa sampai kini belum berhasil, itu soal lain,” katanya.

Keterlibatan Natsir dalam PRRI agaknya menjadi kendala. Dia dan kawan-kawan mendapat amnesti. Justru itu ia diangap pernah bersalah. Ada semacam doktrin bahwa gelar pahlawan itu diberikan kepada ‘orang yang tidak pernah cacat’. Menurut Jimly Ashiddiqie tidak pernah cacat itu relatif. Anak Agung Gede Agung diberi gelar pahlawan padahal dia pernah memimpin Negara Indonesia Timur.

Tapi Sultan Hamid dari Pontianak tidak mendapat gelar pahlawan karena pernah mempertahankan RIS. Padahal dia berjasa besar, bersama Bung Karno menciptakan lambang Garuda Pancasila. Lain lagi Tan Malaka. Setelah mendapat gelar pahlawan ia lalu melakukan tindakan yang bisa digolongkan melanggar Negara. Tapi gelarnya tidak dicabut. Syahrir lebih unik. Ia ditahan Bung Karno bersama Natsir dkk, lalu meninggal ketika masih dalam status tahanan karena sakit. Buru-buru Bung Karno mengeluarkan SK gelar pahlawan kepada Syahrir. “Apakah ini cara Bung Karno menghapus dendam?” kata sejarawan Taufik Abdullah. Karena itu menurut Jimly harus ada kajian ulang soal definisi pahlawan.(Lihat 100 tahun Moh Natsir).

Pejuang sejati selalu berkata: Aku tidak berharap balasan dari kalian, tidak juga ucapan terima kasih” (QS. 76 : 9)

 
Penerbit: PWM Jawa Timur. ISSN: 1907-6290. Penasihat Ahli: Syafiq A. Mughni, Nur Cholis Huda, Mu'ammal Hamidy, Muhadjir Effendy.

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: A. Fatichuddin. Redaktur Pelaksana: Muh Kholid AS.

Pemimpin Perusahaan: Nadjib Hamid. Wakil Pemimpin Perusahaan: Tamhid Masyhudi. Dewan Redaksi: A. Fatichuddin, Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, Ahmad Nur Fuad, Agus Weha, Abd. Sidiq Notonegoro, Agus Setiawan.

Staf Redaksi: MZ Abidin, M. Adnan, Noor Ainie. Fotografer: Ilok. Ilustrasi: Setia Hati.

Tata Letak: Nabila. Sekretaris: Anifatul Asfiyah.

Alamat Redaksi: Jl. Kertomenanggal IV/1 Surabaya 60234, Phone : 031 - 8471412, Fax : 031 - 8420848, Email : matan_pwm@yahoo.com

Templates Novo Blogger Get Free Blogger Template