Penerbit: PWM Jawa Timur. ISSN: 1907-6290.

Penasihat Ahli: Syafiq A. Mughni, Nur Cholis Huda, Mu'ammal Hamidy, Muhadjir Effendy.

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: A. Fatichuddin.

Redaktur Pelaksana: Muh Kholid AS.

Pemimpin Perusahaan: Nadjib Hamid.

Wakil Pemimpin Perusahaan: Tamhid Masyhudi.

Dewan Redaksi: A. Fatichuddin, Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, Ahmad Nur Fuad,

Agus Weha, Abd. Sidiq Notonegoro, Agus Setiawan.

Staf Redaksi: MZ Abidin, M. Adnan, Noor Ainie.

Fotografer: Ilok. Ilustrasi: Setia Hati.

Tata Letak: Nabila.

Sekretaris: Anifatul Asfiyah.

Alamat Redaksi: Jl. Kertomenanggal IV/1 Surabaya 60234, Phone : 031 - 8471412, Fax : 031 - 8420848, Email : matan_pwm@yahoo.com

Jumat, 28 November 2008

K O L O M

MOHAMMAD NATSIR

Oleh: Drs Nur Cholis Huda MSi

Wakil Ketua PWM Jatim

Ketika bangsa ini memperingati hari pahlawan, saya teringat Mohammad Natsir (1908-1993). Dia putra Indonesia dengan banyak kelebihan, sarat keteladanan, banyak jasa dan pengabdian pada Republik ini. Namun Natsir terabaikan.

Dia seorang guru bangsa dan negarawan jujur. Ketika menjadi Menteri Penerangan (3 kali dan 1 kali Perdana Menteri), setiap pidato Soekarno pada 17 Agustus tak lepas dari hasil sentuhan tangannya. Sejarah juga mencatat jasa besar Natsir menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari perpecahan berkeping-keping. Saat itu Indonesia dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) telah terbagi menjadi 16 negara bagian. Kepiawaian Natsir sebagai negarawan nampak ketika dalam sidang DPR RIS, April 1950. Ia membuat statemen yang terkenal dengan Mosi Integral Natsir. Dengan pikiran cemerlangnya, pada Agustus 1950 semua bersedia kembali menyatu dalam NKRI. Namun arsitek NKRI ini seakan ‘dicampakkan’ dari sejarah.

Di masa Orde Lama dia ditahan Soekarno. Di masa Orde Baru dibelenggu Soeharto dari segala kegiatan politik. Ketika keluar tahanan, dia tidak punya rumah. Lalu mengontrak rumah kecil berukuran 4 x 4 meter di sebuah gang. Anak-anaknya dititipkan tidur di familinya karena rumah itu tak cukup untuk seluruh anggota keluarga. Beberapa tahun kemudian baru bisa beli rumah di Jl. Cokroaminito 46, daerah Menteng, dengan menyicil. Ketika beliau wafat, anak-anaknya tidak mampu membayar pajak rumah itu, lalu dijual.

Natsir dikenal sangat sederhana. Dia tak malu sebagai Menteri memakai jas bertambal karena tak punya yang lain. Ini membuat sejarawan George Mc Turnan Kahin hormat dan kagum. Dia Perdana Menteri dengan mobil kusam dan menggeleng ketika ditawari sedan Impala. Dia pemimpin umat yang kantong kemejanya bernoda bekas tinta. Kepada mereka yang mengaku murid dan anak ideologi Natsir ingatlah kesederhanaan Natsir itu. Malulah menjadi politisi serakah, politisi busuk, politisi kutu loncat atau pejabat aji mumpung.

Natsir seorang yang lembut dan menjunjung perasahabatan. Sekalipun sangat anti komunis, tetapi setelah istirahat dari sidang dengan debat yang panas, ia makan sate ayam bersama dengan Ketua PKI, DN Aidit. Tidak ada kebencian pribadi.

Pada masa Presiden Habibie, Natsir mendapat bintang Maha Putra. Tapi banyak masyarakat meminta agar Natsir diberi penghargaan lebih dari itu: gelar pahlawan. Selain berjasa menjadikan Indonesia sebagai NKRI, ketika menjabat Perdana Menteri, Indonesia masuk menjadi anggota PBB.

. Tapi gelar pahlawan belum bisa diberikan kepada Natsir. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah yang ‘pengikut’ Natsir menyatakan sudah berusaha memperjuangkan sesuai kewenangannya. “Bahwa sampai kini belum berhasil, itu soal lain,” katanya.

Keterlibatan Natsir dalam PRRI agaknya menjadi kendala. Dia dan kawan-kawan mendapat amnesti. Justru itu ia diangap pernah bersalah. Ada semacam doktrin bahwa gelar pahlawan itu diberikan kepada ‘orang yang tidak pernah cacat’. Menurut Jimly Ashiddiqie tidak pernah cacat itu relatif. Anak Agung Gede Agung diberi gelar pahlawan padahal dia pernah memimpin Negara Indonesia Timur.

Tapi Sultan Hamid dari Pontianak tidak mendapat gelar pahlawan karena pernah mempertahankan RIS. Padahal dia berjasa besar, bersama Bung Karno menciptakan lambang Garuda Pancasila. Lain lagi Tan Malaka. Setelah mendapat gelar pahlawan ia lalu melakukan tindakan yang bisa digolongkan melanggar Negara. Tapi gelarnya tidak dicabut. Syahrir lebih unik. Ia ditahan Bung Karno bersama Natsir dkk, lalu meninggal ketika masih dalam status tahanan karena sakit. Buru-buru Bung Karno mengeluarkan SK gelar pahlawan kepada Syahrir. “Apakah ini cara Bung Karno menghapus dendam?” kata sejarawan Taufik Abdullah. Karena itu menurut Jimly harus ada kajian ulang soal definisi pahlawan.(Lihat 100 tahun Moh Natsir).

Pejuang sejati selalu berkata: Aku tidak berharap balasan dari kalian, tidak juga ucapan terima kasih” (QS. 76 : 9)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Penerbit: PWM Jawa Timur. ISSN: 1907-6290. Penasihat Ahli: Syafiq A. Mughni, Nur Cholis Huda, Mu'ammal Hamidy, Muhadjir Effendy.

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: A. Fatichuddin. Redaktur Pelaksana: Muh Kholid AS.

Pemimpin Perusahaan: Nadjib Hamid. Wakil Pemimpin Perusahaan: Tamhid Masyhudi. Dewan Redaksi: A. Fatichuddin, Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, Ahmad Nur Fuad, Agus Weha, Abd. Sidiq Notonegoro, Agus Setiawan.

Staf Redaksi: MZ Abidin, M. Adnan, Noor Ainie. Fotografer: Ilok. Ilustrasi: Setia Hati.

Tata Letak: Nabila. Sekretaris: Anifatul Asfiyah.

Alamat Redaksi: Jl. Kertomenanggal IV/1 Surabaya 60234, Phone : 031 - 8471412, Fax : 031 - 8420848, Email : matan_pwm@yahoo.com

Templates Novo Blogger Get Free Blogger Template